KEPRIBADIAN SEBAGAI MODAL DASAR UNTUK TERCAPAINYA KUALITAS KINERJA PARA TENAGA PENDIDIK
oleh
M. As’ad Djalali
(Suntingan dari Pidato Pengukuhan Guru Besar tgl. 15 Juli 2006)
Pendahuluan
Sejak lama berbagai pihak terutama yang memiliki kepedulian terhadap masalah pendidikan dilanda kegalauan terhadap kinerja para pendidik dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan di Negara ini. Disahkannya Undang-Undang tentang Guru dan Dosen oleh DPR tahun 2005 yang lalu merupakan salahsatu refleksi dari sekian upaya untuk mengatasi kegalauan tersebut; di mana sudah merupakan stereotype dari pola pikir (mind set) kita, apabila berbicara tentang rendahnya kualitas pendidikan, muaranya adalah para pendidiknya yang dijadikan sebagai kambing hitam. Kualitas kinerja dari para pendidik lantas dipertanyakan. Rupanya dalam pandangan masyarakat, antara kualitas pendidikan dan para pendidiknya merupakan dua sisi mata uang yang tidak mudah dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.
Berbicara mengenai tenaga pendidik, di negara kita dikenal dengan dua macam sebutan yaitu guru untuk tenaga profesional mulai dari tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas; serta sebutan dosen untuk tenaga profesional di tingkat perguruan tinggi (lih. U.U. Guru dan Dosen Th. 2005, Bab II, Pasal 2 dan 3). Guru dan dosen sebagai tenaga profesional, berfungsi sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (U.U. Guru dan Dosen, Th. 2005 Bab II, Pasal 4 dan 5). Dalam orasi ilmiah ini, saya lebih cenderung menggunakan istilah tenaga pendidik bila akan menyebut guru sekaligus dosen.
Sebetulnya kegalauan terhadap kualitas tenaga pendidik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, bukan hanya terjadi di negara kita yang kondisinya memang begitu memprihatinkan; tetapi juga di Amerika serikat yang sudah begitu maju, dan telah menjadi kiblat dari banyak negara di dunia dalam banyak hal, termasuk dalam masalah pendidikan. Akhir-akhir ini, di sana banyak dilakukan diskursus-diskursus tentang bagaimana cara-cara meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam diskursus-diskursus tersebut hampir secara bulat mensepakati bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dibutuhkan tenaga pendidik dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang ada saat ini (Hess, 2004).
Kenapa ? Karena tenaga yang ada, disinyalir tidak berimbang dengan kemajuan dan perkembangan zaman; dalam kata lain tidak cukup representatif untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada dalam abad ini (Hess, 2004) Penurunan kualitas tenaga pendidik dilihat dari tingkat pendidikannya, terus berlangsung dari tahun ke tahun, di mana hal ini sudah dianggap membahayakan. Tahun 1982 sekitar 17% guru bergelar master dan tahun 2000 turun pada angka 5% nya saja. Ini terjadi karena orang-orang yang potensial atau orang yang berkualitas tidak berminat terhadap profesi guru. Belum lagi kalau dilihat dari segi raw input nya. Calon mahasiswa yang masuk perguruan tinggi kependidikan, adalah mereka yang skor aptitude test (SAT) nya paling rendah dibandingkan dengan calon mahasiswa dari bidang lain. Jadi, yang memilih profesi sebagai pendidik, adalah tenaga yang berkualitas paling rendah. Akhirnya, berdasar pada kondisi yang demikian ini, maka ujian sertifikasi profesi (professional licensing exam) juga diberikan dengan soal yang sederhana serta standar yang rendah pula. Dengan demikian dapat disimpulkan tenaga pendidik yang ada, adalah SDM dengan kualitas the weakest of the weak atau yang paling lemah di antara yang lemah, dengan kata lain yang paling jelek di antara yang jelek ((Hess, 2004).
Itu di Amerika Serikat, yang selama ini dijadikan kiblat dunia dalam banyak hal termasuk kemajuannya dalam bidang pendidikan. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi di Indonesia. Sebagaimana yang telah banyak dilansir oleh berbagai media tentang kualitas pendidikan di negara kita yang berada dalam urutan ke 112 dari 162 negara; sedangkan tetangga kita Malaysia saja berada pada urutan ke 50 dan Vietnam ada pada urutan ke 111 merupakan salahsatu indikatornya (Djalali, 2001, Sondakh, 2006).
Di muka telah disinggung kalau berbicara tentang rendahnya mutu pendidikan, maka yang dipersalahkan adalah pendidiknya. Kualitas tenaga pendidik (dalam hal ini guru) lalu dipertanyakan. Memang, hal tersebut tidak semuanya salah sekalipun tidak semuanya benar. Kualitas guru yang ada memang meprihatinkan. Ada dua indikator yang menunjuk pada sinyalemen tersebut. Pertama, data dari Depdiknas guru SD se-Indonesia yang berjumlah 1.141.168 orang ternyata baru 38% atau 442.310 yang diangap layak mengajar. Sisanya dianggap tidak layak mengajar, karena ijazah yang dimiliki masih di bawah jenjang D-2 (Deploma-2). Jadi ada 62% yang tidak layak mengajar. Kedua, hasil uji coba yang dilakukan Kanwil Diknas DKI tentang pemahaman ilmu dan kurikulum kepada 3000 orang guru dari berbagai disiplin ilmu, ditemukan bahwa 90% lebih dari mereka tidak paham akan apa yang mereka ajarkan. Sebanyak 421 guru fisika, yang diberi soal fisika, lebih dari 90% memperoleh nilai di bawah 5 (lima). Kemudian dari 411 guru kimia, sebesar 80% dari mereka yang mendapatkan nilai di bawah 4 (empat). Selanjutnya sekitar 1000 orang guru biologi dan matematika yang juga dites, menunjukkan perolehan nilai yang relatif sama. Yang sangat memprihatinkan lagi adalah, soal ujian yang diberikan yaitu soal EBTANAS yang biasa diberikan pada anak-anak SMU setiap tahun. Bukan soal-soal ujian untuk tingkat sarjana atau magister. Tragisnya, nilai yang mereka dapat, kalah jauh dibandingkan dengan nilai dari siswa yang mereka ajar (Suyanto, 2006). Mereka kalah pintar dari muridnya, kalau tidak boleh saya mengatakan mereka lebih bodoh dari muridnya. Memang, memprihatinkan sekali.
Di muka telah disinggung, kalau ada 62% guru SD yang tidak layak mengajar karenan ijazah yang dimiliki setaraf D-1 (deploma-1) ke bawah (minimal SPG dan sederajat). Tentu tidak akan ditemukan lulusan SD yang menjadi guru SD. Bagaimana kondisi tenaga pendidik di Perguruan Tinggi yang biasa dipanggil dengan sebutan dosen. Rupanya masih dianggap wajar kalau dosen lulusan S-1 mengajar S-1, S-2 mengajar S-2, bahkan ada lulusan S-1 dan S-2 yang mengajar S-3. Pada hal dalam U.U. Guru dan Dosen tahun 2005, Bab III, Pasal 46 ayat 2, ditegaskan bahwa seorang dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimal lulusan program Magister (S-2) untuk program deploma dan program sarjana S-1); serta lulusan program doktor (S-3) untuk program sarjana dan pasca sarjana (S-1&S-2).
Tentang kemampuan akademik dosen, rupanya masih belum ada upaya penelitian sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kanwil Diknas DKI terhadap guru. Bagaimana kalau dosen juga dites dengan materi tes yang biasa mereka berikan pada masiswanya. Atau sekalian dites bersama-sama para guru mengerjakan soal-soal EBTANAS untuk murid SMU sebagaimana yang telah dilakukan di DKI tadi. Ini mungkin ada baiknya untuk dicoba. Nanti, akan tambah sempurnalah keprihatinan kita, apabila ditemukan banyak dosen yang tidak lebih pintar dari murid-murid SMU.
Semua pihak, baik pemerintah, para orang tua dan mayarakat tentu sangat berkepentingan terhadap kinerja yang optimal dari para tenaga pendidik tersebut, untuk mendapatkan out put yang optimal pula yaitu produk lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang berbobot serta karya ilmiah dan teknologi yang berkualitas untuk didarma baktikan demi kehidupan dan pembangunan bangsa. Kenerja yang optimal sebagaimana yang diharapkan, akan dapat tercapai apabila para tenaga guru ataupun dosen dimaksud, memiliki motivasi kerja yang memadai.
Motivasi dalam hal ini motivasi kerja sebagai salahsatu aspek kepribadiaan, merupakan faktor vital yang sangat mempengaruhi efektivitas proses belajar mengajar serta dalam rangka pengembangan institusi pendidikan. Motivasi kerja dimaksud di atas adalah dorongan untuk berpartisipasi, dalam arti melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dalam proses pendidikan (Ofoegbu, 2004). Dalam rangka mencapai hal tersebut ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek kepribadian yang akan berfungsi sebagai frame of reference (kerangka acuan) dan kedua adalah primary incentive (insentif primer) seperti gaji dan berbagai macam fasilitas sebagai kompensasi di mana kedua hal tersebut akan menentukan motivasi (intensitas, arah dan pola perilaku), yang akhirnya akan menentukan kualitas kinerja yang bersangkutan (Newman, 1963). Jelasnya, kualitas kinerja tergantung pada tinggi rendahnya motivasi, dan motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor internal yaitu kepribadian sebagai kerangka acuan dan berbagai macam variable lain dari faktor eksternal yang termasuk dalam katagori insentif primer.
Insentif primer yang dapat mempengaruhi motivasi kerja menurut Newman (1963) antara lain ialah higher financial income, social status and respect, security, attractive work dan opportunity for development. Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 khususnya pasal 14 tentang guru dan pasal 51 tentang dosen mengenai hak dan kewajiban guru dan dosen merupakan insentif primer sebagaimana dimaksud. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa guru dan dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan prestasi kerjanya, memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, mendapatkan akses pada sumber belajar, akses informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak kekayaan intelektual, memperoleh kebebasan dalam memberikan penilaian dan kelulusan peserta didik, memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melakukan tugas dan seterusnya.
Pertanyaannya adalah: apakah dengan insentif primer sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen seperti yang telah dikemukakan di atas, akan berpengaruh pada peningkatan kinerja tenaga pendidik sehingga mutu pendidikan kita dapat terangkat ?
Harapannya tentu demikian. Itu merupakan harapan dan perkiraan banyak orang, khususnya yang berkaitan dengan higher financial income. Awalnya para penilik sekolah, para dosen di lembaga pendidikan guru (semacam IKIP), asosiasi profesi guru dan asosiasi profesional lain (di Amerika Serikat), memiliki kesimpulan yang sama, bahwa merupakan tuntutan yang krusial untuk memberikan gaji kepada para tenaga guru yang lebih besar, dibandingkan dengan yang mereka terima saat ini (Hess, 2004). Ini muncul karena ada dugaan gaji mereka masih relatif kecil.
Pertanyaan kemudian muncul apa betul gaji para guru masih kecil ? Kenyataannya tidak demikian. Berdasar data dari Bureau of Labor Statistics National Compensation Survey tahun 2001, gaji guru rata-rata 43.000 U.S.$/tahun; sedangkan gaji arsitek, ahli teknik sipil, biolog, apoteker, ahli statistik dan tenaga professional yang lain menerima gaji rata-rata 40.000 U.S.$/tahun. Kalau dikurskan ke rupiah kira-kira 430.000.000. untuk gaji guru dibandingkan dengan 400.000.000. untuk gaji professional lain. Kalau dihitung perjam, para guru rata-rata mendapatkan bayaran 30 U.S.$/jam; sedangkan para tenaga profesional yang lain mendapatkan bayaran 27 U.S.$/jam. Gaji guru 10% lebih besar dibandingkan dengan gaji para profesional yang lain (Richard Vedder, lih. Hess, 2004). Tapi kualitas kerja mereka masih memprihatinkan. Sekali lagi itu gaji guru di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia ?
Selama ini, saya masih belum menemukan data statistik mengenai berapa rerata gaji para tenaga pendidik di Indonesia dan bagaimana posisinya kalau dibandingkan dengan rerata gaji para profesional yang lain. Tapi kira-kira nasib dan posisinya tidak akan sebaik seperti rekan-rekan mereka di di Amerika Serikat, mungkin saja ada pada posisi yang paling rendah. Sebuah informasi yang saya dapat baru-baru ini, gaji seorang Guru Besar (PNS) paling senior sekitar Rp. 2.900.000,- (misalnya dibulatkan saja menajadi Rp. 3.000.000,-) per bulan; jadi pertahun mereka mendapatkan gaji Rp. 36. 000.000,-. Bandingkan dengan gaji hakim setiap bulan yakni: Rp. 15.000.000,- untuk hakim di pengadilan negeri, Rp. 25. 000.000,- untuk hakim di pengadilan tinggi,- dan Rp. 30.000.000,- untuk hakim agung di Mahkamah Agung. Itu saja masih dianggap rendah, yang memunculkan tengara para hakim memiliki sikap permisif terhadap pemberian atau hadiah yang dapat menyuburkan kultur korupsi seperti jual beli putusan pengadilan di lembaga tersebut (Kompas, 3-7-2006). Tentunya tidak semua hakim melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti itu, dan masih banyak hakim yang baik. Bandingkan pula dengan rerata gaji guru (bukan Guru Besar) di Amerika serikat yang besarnya sekitar Rp. 430.000.000,- setiap tahun yang dengan gaji sebesar itu sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicaraan di depan, kinerja mereka masih membuat galau banyak pihak.
Pantas saja muncul fenomena tidak sedikit guru dan dosen yang bekerja sambilan di luar profesinya. Misalnya guru yang nyambi sebagai tukang ojek. Atau aktivitas yang masih berkaitan dengan profesinya, tetapi yang bersifat pelecehan terhadap profesinya tadi. Misalnya adanya tengara praktek perjokian dalam rangka UNAS, atau dosen yang melakukan pelacuran akademik yaitu jual beli nilai dengan mahasiswanya serta berbisnis Tugas Akhir, Skripsi, Tesis bahkan Disertasi bagi yang membutuhkan. Tentunya tidak semua guru dan dosen memiliki moral serendah itu. Masih banyak di antara mereka yang dengan segala keter-batasannya, tetap memiliki idealisme dalam melakukan tugas profesinya.
Memang, gaji besar tidak lantas serta-merta secara signifikan berpengaruh terhadap tingginya kualitas kinerja, karena dalam teori motivasi faktor gaji hanyalah sebagai faktor hygiene, bukan faktor motivasional. Faktor hygiene tadi sekalipun bukan faktor yang dapat meningkatkan motivasi, tetapi tidak berarti tidak penting. Karena, apabila tidak didapat secara optimal, motivasi akan menurun yang akan berkelanjutan pada menurunnya kualitas kinerja. Apabila didapat secara optimal, maka motivasi akan ada pada kondisi yang persisten, sekalipun tidak meningkat. Faktor hygiene ini berperan untuk memelihara motivasi yang ada. Setidaknya dengan gaji yang cukup, para guru pikirannya tidak akan terpecah dengan aktivitas-aktivitas lain, dan akan lebih terkonsentrasi pada tugas-tugasnya sebagai pendidik. Mungkin tidak perlu lagi guru bekerja sambilan sebagai tukang ojek, atau praktek perjokian dan dosen tidak melakukan pelacuran akademik lagi, dengan alasan untuk mecukupi kebutuhan hidupnya secara finansial.
Faktor motivasional dari insentif primer yang tersirat dalam U.U. Guru dan Dosen tahun 2005, antara lain adalah kesempatan untuk berkembang, misalnya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan meningkatkan kompetensi, mendapatkan pengalaman dan kesempatan baru, mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan prestasi kerjanya, serta mendapatkan perlindungan dan rasa aman. Ini akan meningkatkan motivasi, karena hal tersebut akan berpengaruh positif terhadap peningkatan profesionalisme dan pengembangan karier yang bersangkutan. Institusi juga akan diuntungkan dengan mendapatkan tenaga yang lebih kapabel. Tenaga yang kapabel, akan memberikan kontribusi yang lebih baik demi terlaksananya program-program pendidikan dan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri, yang kemudian masyarakat juga yang akan diuntungkan (Luce, 1988). Adanya perhatian yang lebih besar terhadap kondisi para pendidik sebagaimana tertuang dalam U.U. Guru dan Dosen tahun 2005, yang secara psikologis menyangkut faktor hygiene dan faktor motivasional, adalah merupakan insentif primer yang dapat meningkatkan kinerja para tenaga pendidik.
Berbicara tentang kualitas kinerja, sangat tergantung pada motivasi yang bersangkutan di dalam mengemban tugas-tugasnya. Motivasi itu sendiri sebagai salah satu aspek kepribadian, sangat ditentukan oleh aspek kepribadian yang lain seperti Inteligensi, Bakat, Minat Jabatan dan Kemampuan Akademik dari yang bersangkutan. Aspek kepribadian tersebut akan menjadi frame of reference atau kerangka acuan untuk merespon segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas kewajibannya. Dalam bahasa sederhana, pengararuh insentif primer yang diberikan terhadap kinerja para dosen, tergantung pada bagaimana yang bersangkutan menyikapi insentif itu tadi.
Kualitas kinerja para tenaga pendidik sangat tergantung pada motivasi; sedangkan motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor inteligensi, bakat, minat jabatan dan prestasi akademik yang telah dicapai selama menempuh pendidikan sebelumnya, di samping faktor insentif primer tadi. Penekanan orasi ilmiah sehubungan dengan kinerja tenaga pendidik di sini, difokuskan pada beberapa aspek kepribadian sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, yaitu: motivasi, minat jabatan, inteligensi, bakat, dan prestasi akademik.
Motivasi Kerja Para Tenaga Pendidik
Motivasi adalah faktor yang paling dasar yang mempengaruhi kinerja (performance) seseorang. Semua pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan tentunya berkepentingan pula dengan motivasi para pendidik yang terfokus pada tugasnya secara persisten (Luce, 1988). Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, efektivitas proses belajar mengajar sangat tergantung pada motivasi kerja para tenaga pengajarnya. (Steer dan Porter, 1979 dan Ofoegbu, 2004).Ada dua macam motivasi kerja yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik (Hunt, lih. Petri, 1996). Pekerjaan bagi orang yang bekerja atas dasar motivasi ekstrinsik, hanyalah sebagai objek substitusi atau sebagai tujuan instrumental untuk mencapai tujuan yang dicari yaitu insentif eksternal.
Sebaliknya bagi orang yang melakukan tugas dengan didasari motivasi intrinsik, pekerjaan merupakan tujuan yang sifatnya substansial; karena kepuasan yang didapat inheren dalam aktivitasitu sendiri, tidak bayak tergantung pada faktor insentif eksternal seperti gaji, honorarium, penghargaan, promosi atau insentif lain sebagai kompensasi yang ada dibalik aktivitas tadi (Davis dan Newstrom, 1989).
Tetapi sekalipun demikian, dalam banyak kasus sulit dipisahkan antara peranan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik dalam konstelasi perilaku. Seseorang melakukan pekerjaan mungkin karena menyenangi aktivitas-aktivitas yang dilakukan, karena akativitas tersebut sesuai dengan arah minat dan kompetensinya, atau mungkin karena mengharapkan insentif seperti upah yang ada dibalik aktivitasnya tadi. Atau mungkin aktivitas tadi dilakukan karena alas an keduanya, karena sesuai dengan minatnya, sesuai dengan kopetensinya sekaligus mengharapkan insentif sebagai kompensasinya. Masing-masing individu yang berbeda dapat melakukan dan menampilkan motivasi dan kinerja yang sama, dengan dasar atau alasan yang berbeda (Tice, 1991). Sekalipun demikian, dalam orasi saya ini motivasi dimaksud ditekankan pada motivasi intrinsik.
Ada empat aspek motivasi guru dan dosen dalam melakukan tugasnya. Pertama, adanya respon otonom dari yang bersangkutan dalam mengantisipasi tugas-tugasnya, dalam rangka berpartisipasi dalam aktivitas proses belajar mengajar (Winter, 1973; Ofoegbu, 2004). Dalam hal ini yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dilakukan secara tulus. Ini terjadi karena yang bersangkutan mencintai profesinya sebagai pendidik (Czubaj, 2002). Kedua, adanya dorongan untuk mengadakan evaluasi terhadap kemampuannya. Ketiga, adanya dorongan yang berorientasi pada pelaksanaan tugas secara sempurna, khususnya tugas yang berkaitan dengan kepentingan anak didik. Keempat, adanya dorongan untuk melakukan tugas yang didasarkan pada tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial (Ames dan ames, 1984).
Guru atau dosen yang memiliki motivasi intrinsik tinggi, dapat dilihat dari cara mereka dalam mengantisipasi tugas pelaksanaan pendidikan dan pengajaran secara otonom yang didasari oleh dorongan untuk selalu meunjukkan kinerja dengan kualitas dan intensitas tinggi, dorongan untuk selalu melakukan tugasnya secara optimal, dengan dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan moral dan sosial, dan tidak banyak mempermasalahkan berapa jumlah insentif finansial yang harus mereka terima.
Minat Jabatan
Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembicaraan sebelumnya, kepribadian sebagai faktor internal di samping faktor primary incentive yang erat kaitannya dengan motivasi dosen adalah minat jabatan, inteligensi, bakat dan prestasi akademik.
Minat merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi motivasi, karena minat itu sendiri merupakan suatu gambaran kognitif dari kebutuhan yang berfungsi mengarahkan tingkahlaku (Rokeach, 1973). Minat seseorang terhadap suatu kegiatan akan mempengaruhi cita-cita dan sikapnya terhadap kegiatan-kegiatan dimaksud, yang akhirnya akan mempengaruhi motivasinya untuk melakukan kegiatan tadi (Guilford, lih. Djalali, 2001; Elliott dan dweck, 1998). Minat jabatan adalah perhatian yang sungguh-sungguh terhadap aktivitas-aktivitas yang memiliki karakteristik yang sama dengan jabatan atau pekerjaan tertentu (Jones, 1963). Ada 10 macam minat jabatan yaitu: out door, mechanical, computational, scientific, persuasive, artistic, literary, musical, social service dan clerical (Kuder, 1984).
Minat jabatan yang memiliki karakteristik yang sama dengan aktivitas pendidik dalam hal ini aktivitas dalam kaitannya dengan peklaksanaan transfer of learning atau melakukan transformasi ilmu dan teknologi kepada anak didiknya, pengembangan keilmuan dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, adalah minat keilmuan (scientific), minat hubungan interpersonal (persuasive), minat layanan social (social service), dan minat baca tulis atau literary (Kuder, 1984). Individu yang memiliki minat terhadap aktivitas-aktivitas seperti di atas, akan memiliki cita-cita untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan arah minatnya dan akan mempunyai sikap penerimaan yang tinggi terhadap tugas yang dimaksud tadi.
Individu yang memiliki minat yang tinggi pada masalah-masalah keilmuan, hubungan interpersonal, layanan sosial dan baca-tulis, diperkirakan akan memiliki motivasi yang tinggi pula dalam melakukan tugas pendidikan dan pengajaran, dalam rangka mengadakan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenapa ? Karena tugas-tugas tersebut akan sesuai dengan cita-citanya dan yang bersangkutan akan memiliki sikap penerimaan yang penuh terhadap tugas-tugas yang diembannya (Guilford, lih. Djalali, 2001; Elliott dan Dweck, 1988) Ini juga dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara beberapa minat jabatan di atas dengan motivasi kerja dosen (lih. Djalali, 2001).
Inteligensi
Inteligensi merupakan kapasitas seseorang dalam menyesuaikan diri dan mengantisipasi masalah-masalah dan tugas-tugas yang dihadapinya (McMahon dan McMahon, 1986). Inteligensi sangat berperan dalam perkembangan motivasi kerja (weiner, 1972) dan motivasi itu sendiri berada di antara inteligensi sebagai potensi yang mendasari kemampuan untuk bertingkahlaku dengan tingkahlaku itu sendiri (Maier, 1970). Inteligensi, merupakan potensi yang akan mengantarkan indvidu untuk menjadi tenaga yang memiliki kompetensi untuk menghadapi tugas-tugasnya. Oleh karena itu tinggi rendahnya inteligensi akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya perasaan mampu atau rasa memiliki kompetensi bagi seseorang, dan rasa mampu ini menurut Deci (Deci dkk, 1975; Petri, 1996), akan mempengaruhi perkembangan motivasi intrinsik yang bersangkutan. Rasa mampu ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan intensistas dan memelihara persistensi motivasi seseorang (Phillips dan Lord, 1980).
Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan antara inteligensi dengan motivasi kerja yaitu r 0,434 dan p< 0,01 (Djalali, 2001). Ini terjadi karena erat kaitannya dengan inteligensi sebagai kapasitas untuk dapat menyesuaikan diri atau kapasitas untuk mengantisipasi masalah-masalah serta tugas-tugas yang dihadapi dalam hidupnya (McMahon dan McMahon, 1986). Dalam hubungannya dengan tenaga pendidik, semakin tinggi inteligensi seorang pendidik, akan diikuti dengan semakin tingginya kemampuan yang bersangkutan dalam mengantisipasi tugas-tugas yang menjadi kewajibannya. Guru ataupun dosen yang memiliki inteligensi tinggi akan memiliki kemampuan untuk terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dengan pesat seperti yang terjadi saat ini. Sehingga mereka tidak ketinggalan informasi pengetahuan di bandingkan dengan anak didiknya. Semakin tinggi kemampuan seorang guru atau dosen dalam mengantisipasi tugas-tugasnya akan diikuti semakin tinggi pula kompetensinya. Apabila para pendidik memiliki kompetensi tinggi dalam melakukan tugas kewajibannya, maka tidak akan terjadi kasus perolehan hasil tes yang lebih rendah di bandingkan dengan hasil yang dicapai oleh murid yang mereka ajar. Semakin tinggi kompetensi seorang pendidik tentu akan diikuti dengan semakin tingginya motivasi yang bersangkutan dalam melakukan tugas-tugasnya.
Bakat
Bakat adalah salahsatu potensi yang menunjukkan kapasitas atau kesanggupan seseorang dalam belajar keterampilan dalam bidang tertentu (Super & Crites, 1962). Aspek bakat ada berbagai macam, tapi yang diperkirakan relevan dengan tugas tenaga pendidik sebagai agen pembelajaran, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat dalam rangka pengembangan dan trasformasi keilmuan, adalah pemahaman verbal, penalaran abstrak dan bakat ekspresi.
Bakat pemahaman verbal adalah potensi untuk membaca dan memahami informasi-informasi yang bersifat verbal serta potensi untuk mengambil keputusan praktis dengan alasan-alasan logis, memahami informasi-informasi, berdasarkan pada informasi-informasi yang diterima. Bakat penalaran abstrak adalah potensi untuk menerima inforasi-informasi yang sifatnya non verbal (abstrak) yang diterima. Bakat ekspresi adalah potensi untuk mengungkapkan perasaan dan mengkomunikasikan pikiran dengan bahasa, baik melalui tulisan atau secara lisan (Bennett dkk, 1952; Flanagan, 1953; anastasi, 1976; Anastasi, 1990). Bakat memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap motivasi (Terborg dkk, 1980). Kuatnya pengaruh bakat terhadap motivasi mungkin ada hubungannya dengan rasa mampu seperti yang dikemukakan oleh Deci (Deci dkk, 1975; Petri, 1996; Pilips dan Lord, 1980).
Hubungan antara bakat dengan motivasi, sama halnya dengan hubungan antara inteligensi dengan motivasi, yaitu berkaitan dengan kompetensi dari yang bersangkutan. Semakin tinggi bakat pemahaman verbal, bakat penalaran abstrak dan bakat ekspresi seorang guru atau dosen, akan diikuti dengan semakin tingginya pula potensi yang bersangkutan untuk memiliki ketrampilan sehubungan dengan tugas-tugas mereka. Semakin tinggi potensi seorang guru dan dosen untuk memiliki keterampilan didalam melakukan tugas-tugasnya, akan diikuti dengan semakin tinggi pula kompetensinya untuk melakukan tugas-tugasnya tadi. Semakin tinggi kompetensi seorang guru dan dosen dalam melakukan tugasnya, akan diikuti dengan semakin tingginya pula motivasi mereka dalam melakukan tugas sebagai pendidik. Pengaruh bakat terhadap motivasi kerja dalam dunia pendidikan dibuktikan dengan hasil suatu penelitian yaitu r 0,530 dengan p< 0,01(Djalali, 2001).
Prestasi Akademik (Indeks Prestasi)
Prestas akademik yang biasanya disebut dengan indeks prestasi, merupakan gambaran hasil belajar yang telah diperoleh individu dalam pendidikan formalnya. Prestasi akademik menunjukkan taraf kemampuan individu dalam mengikuti program balajar pada waktu tertentu, sesuai dengan kurikulum yang telah ditentukan. Prestasi akademik ini biasanya dinyatakan dalam bentuk daftar nilai (Jensen, 1981; Djalali, 2001). Menjadikan prestasi akademik (indeks prestasi) sebagai tolok ukur dalam rangka seleksi tenaga pendidik akan berkaitan erat dengan kinerja yang bersangkutan dan kualitas pendidikan itu sendiri. Indeks prestasi perlu dijadian sebagai salahsatu persayaratan dalam rangka penerimaan tenaga pendidik. Ini dimaksudkan agar kualitas kinerja mereka dapat diandalkan. Karena keterampilan serta pengetahuan seseorang yang dicapai sebelumnya, berguna untuk tercapainya prestasi yang akan dicapai pada masa-masa selanjutnya (Drenth, lih. Djalali, 2001). Apabila para tenaga pendidik memiliki kemampuan akademik yang tinggi, niscaya tidak akan pernah terjadi seperti yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya yaitu guru kalah pintar di bandingkan dengan muridnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi akademik. Menurut Tyler (1956), prestasi akademik banyak dipengaruhi oleh kondisi kepribadian yang kompleks. Prestasi akademik merupakan refleksi dari faktor-faktor lain dalam kepribadian yaitu kebiasaan atau ketekunan dalam belajar, disiplin, di samping kemampuan mental lain seperti inteligensi, bakat dan minat dan motivasi (Jensen, 1981; Jordan, 1981; Gettringer dan White, 1979). Jadi, tinggi rendahnya prestasi akademik yang dicapai seseorang di dalam menempuh pendidikannya, merupakan gambaran dari kemanpuan mental, ketekunan, disiplin dan motivasinya. Hal ini akan mempengaruhi kinerja yang bersangkuatan dalam melakukan tugas-tugasnya yaitu melaksanakan transfer of learning kepada anak didiknya atau tugas-tugas lain yang memang menjadi kewajibannya sebagai guru atau dosen.
Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa semua pihak berkepentingan terhadap motivasi kerja para tenaga pendidik, karena kualitas pendidikan akan meningkat apabila kinerja mereka dapat ditingkatkan; sedangkan kualitas kinerja itu sendiri sangat tergantung pada motivasi kerja yang bersangkutan. Dalam hal ini, ada empat faktor motivasi kerja dosen yaitu pertama, adanya repon otonom dari yang bersangkutan dalam aktivitas proses belajar mengajar secara tulus. Kedua, adanya dorongan untuk mengevaluasi kemampuannya. Ketiga, adanya dorongan untuk melakukan tugas secara sempurna; dan keempat, adanya tanggung jawab moral dan sosial dalam melakukan tugas, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan anak didiknya. Motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi ialah insetif primer, yang antara lain ialah: upaya peningkatan pendapatan secara finasial, status sosial, rasa aman, tugas yang menarik serta kesempatan untuk berkembang sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 khususnya Bab IV pasal 14 dan Bab V pasal 51. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa guru dan dosen berhak memperolah penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan prestasi kerjanya, memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, mendapatkan akses informasi, mendapatkan perlindungan dalam melakukan tugas kewajibannya dan seterusnya, adalah merupakan insentif primer yang dapat mempengaruhi motivasi.
Faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah aspek-aspek kepribadian yang akan menjadi frame of reference atau kerangka acuan untuk berperilaku. Motivasi adalah salahsatu aspek kepribadian, tetapi motivasi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh aspek kepribadian yang lain, yaitu: minat jabatan (keilmuan, hubungan interpersonal, layanan sosial, dan baca-tulis), inteligensi, bakat (pemahaman verbal, pemahaman abstrak dan bakat ekspresi) serta kemampuan akademik dari individu yang bersangkutan.
Minat jabatan keilmuan, hubungan interpersonal, layanan sosial, dan baca tulis memiliki karakteristik yang sama dengan tugas utama para tenaga pendidik, yaitu melakukan pendidikan dan pengajaran dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didiknya. Karena memiliki karakteristik yang sama, maka yang bersangkutan akan memiliki motivasi yang tinggi pula di dalam melakukan tugasnya.
Tinggi rendahnya inteligensi sebagai kapasitas untuk mengantisipasi tugas-tugas dan tantangan yang dihadapi, akan berpengaruh pada tinggi rendahnya kemampuan dan kompetensi yang bersangkutan dalam melakukan kewajibannya. Semakin tinggi komptensi seorang guru atau dosen terhadap tugas kewajibannya, maka akan diikuti oleh semakin tingginya pula motivasi kerjanya yaitu pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pengajaran dalam rangka transfer of learning kepada anak didiknya maupun kepada masyarakat luas.
Bakat pemahaman verbal, bakat pemahaman abstrak dan bakat ekspresi merupakan bakat yang dibutuhkan untuk seorang pendidik. Semakin tinggi bakat tersebut dimliki oleh para tenaga pendidik, maka akan semakin tinggi pula keterampilannya untuk makukan tugas kewajibannya.
Prestasi akademik yang didapat oleh seseorang dalam menempuh pendidikannya, merupakan gambaran dari kemampuan mental yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kepribadian, seperti: disiplin, kebiasaan dan ketekunan belajar, inteligensi, bakat dan motivasinya yang inheren dalam dirinya. Dengan demikian, tinggi rendahnya prestasi akademik yang dimiliki oleh seorang pendidik diperkirakan akan berpengaruh terhadap motivasinya di dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai pendidik.
Minat jabatan, inteligensi, bakat dan prestasi akademik merupakan faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap motivasi para guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang berperan sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat, di dalam melakukan tugas kewajibannya. Motivasi itu sendiri dalam hal ini motivasi untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran, merupakan faktor yang paling menentukan kualitas kinerja para guru dan dosen. Minat jabatan, inteligensi, bakat, prestasi akademik dan motivasi sabagai aspek kepribadian yang paling menentukan kinerja. Karena aspek-aspek kepribadian tadi merupakan kerangka acuan (frame of reference) untuk bertindak.
Insentif primer yang akan diberikan kepada para guru dan dosen, baik yang berupa faktor hygiene maupun faktor motivasional sebagaimana yang tertuang dalam U.U. Guru dan Dosen tahun 2005 akan berpengaruh positif atau negatif, tergantung pada frame of reference dari yang bersangkutan. Dalam ungkapan lain, sebesar apapun insentif primer yang akan diberikan, pengaruhnya terhadap kinerja, tergantung pada bagaimana cara individu menyikapi insentif tersebut. Cara individu menyikapi insentif tadi tergantung pada kondisi kepribadian sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian-uraian saya sebelumnya. Kualitas kinerja para pendidik, sangat tergantung pada kondisi kepribadian mereka masing-masing. Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kondisi kepribadian para pendidiknya, karena kondisi kepribadian tadi menentukan kualitas kinerja mereka dan dari kualitas kinerja mereka inilah sebagian dari sekian banyak faktor yang ikut menentukan kualitas pendidikan.
Saran
Atas dasar uraian di atas, di sini di sarankan apabila kita semua berkepentingan dengan kualitas pendidikan di Negara kita, maka kepedulian terhadap masalah kompetensi kepribadian (minat jabatan, inteligensi, bakat, kemampuan akademik dan motivasi dari para pendidiknya, merupakan masalah yang paling krusial untuk diperhatian di samping aspek-aspek lain seperti kompetensi paedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi professional (U.U. Guru dan Dosen Tahun 2005, Bab IV pasal 10), terutama dalam rangka seleksi. Seleksi dimaksud adalah dalam rangka seleksi calon mahasiswa kependidikan (calon mahasiswa keguruan), dalam rangka seleksi calon tenaga pendidik dan dalam rangka sertivikasi profesi tenaga pendidik.
Tujuan dari seleksi tersebut ialah untuk menjaring tenaga yang cerdas (inteligensi yang tinggi) yang mampu mangantisipasi perkembangan jaman, memiliki bakat yang sesuai dengan karakteristik dari tugas-tugas yang harus diemban oleh seorang pendidik, memiliki kemampuan akademik yang tinggi, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan tugasnya sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan pengabdi kepada masyarakat.
Bagaimana dengan tenaga pendidik yang ada saat ini yang disinyalir sebagian besar dari mereka kalah pintar di bandingkan dengan anak didiknya? Mungkin hanya buang-buang waktu dan enersi untuk menyesalinya. Lebih baik pihak-pihak yang berkompeten, mengambil langkah-langkah kongkret, untuk mengatasinya. Beberapa upaya kongkret yang dapat dilakukan adalah: kemampuan akademik mereka ditingkatkan dengan diberi kesempatan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dengan diikutkan kursus-kursus tambahan. Minat jabatan dan motivasi mereka dapat ditingkatkan dengan cara diadakan pelatihan-pelatihan. Insentif primer (baik yang faktor hygiene atau faktor motivasional) sebagaimana yang tersirat dalam U.U. Guru dan Dosen tahun 2005, dapat meningkatkan motivasi dan minat, bila diberikan secara riil, bukan hanya sekedar iming-iming atau hembusan angin surga belaka. Hanya mengenai inteligensi dan bakat, agaknya tidak banyak yang dapat dilakukan, karena hal tersebut merupakan aspek kepribadian yang bersifat laten dan heriditer.
Sekarang yang penting, kita semua menatap ke depan. Sebagaimana yang telah saya kemukakan dalam uraian saya sebelumnya, bahwa kinerja tenaga pendidik adalah salah satu faktor yang sangat penting dari sekian banyak faktor yang menentukan kualitas pendidikan. Apabila kita semua berkepentingan terhadap mutu pendidikan yang baik, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kinerja tenaga pendidik agar betul-betul diperhatikan, baik yang eksternal ataupun yang internal. Dengan demikian, nantinya raw input tenaga pendidik jangan sampai dari kalangan the weakest of the weak sebagaimana yang selama ini telah terjadi, terutama yang menyangkut masalah aspek kepribadiannya, sebagai modal dasar demi tercapainya kualitas kinerja mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, M; 1989. Birokrasi, Terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Penerbit P.T. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Ames, C; and Ames R; 1984. Systems of Student and Teacher Motivation : Toward a Qualitative Devinition. Journal of Educational Psychology. Vol. 75, No.4 535 -536.
Anastasi, A; 1976. Psychological Testing, McMillan Book Company, New York.
———————,1979. Filds of Applied Psychology 2 th Edition McGraw-Hill Kogakusha ltd; Tokyo.
———————, 1990. Psychological Testing, McMillan Book Company, New York.
Bennett, G.K.; Seashore H.G. and Wesman A.G; 1952. Differential Aptitude Test Manual 2 th Edition, The Psychological Corporation, New York field, Adam and co; New York.
Czubaj, C; A; 2002. Maintaining Teacher Motivation, Education, Vol. 116, 372-380.
Daniel T.L. and Esser J.K. 1980. Intrinsic Motivation as Influenced by Rewards, Task Interest, and Task Structure . Journal of Appied Psychology, Vol.65, No.5, 566 – 573.
Davis, K. and Newstrom, J.W; 1989. Human Behaviour at Work 8th. Edition, McGraw-Hill International Editions, New York.
Djalali, M;A. 2001. Psikologi Motivasi, Minat Jabatan, Inteligensi, Bakat dan Motivasi Kerja, Wineka Media.
————–; 2002. Memotivasi Diri Untuk Mengatasi Steres dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Guru, Makalah disampaikan dalam seminar Usaha Menanggulangi Gejala Stres Dalam Rangka Memenuhi Kebutuhan Hidup Para Profesional (8 September, 2002) di Gedung serba Guna, IKIP-PGRI Banyuwangi.
————–; 1996. Indeks Prestasi dan Motivasi Kerja dosen (Penelitian Tidak Dipublikasikan) Lembaga Penelitian UNTAG Subaya.
Deci, E.L; Cassio, W.F; and Krussell, J; 1975. Cognitive Evaluation Theory and some Comments on The Calder staw Critique, Journal of Personality and SocialPsychology, 31, 18-35.
Elliot, E.S and Dweck C.S; 1988. Attitudes and Social Cognition, Goals : An Aproach to Motivation and Achievement. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.54, No.1, 5-12.
Flanagan, J.C; 1953. FACT :Exeminer Manual, Science Research Associates, Inc; Chicago.
Ford, M.E; and Tisak M.S; 1983. A Further Search for Social Intelligence, Journal of Educational Psychology, Vol. 75, No.2, 196 – 206.
Franken, R.E; 1982. Human Motivation, Brook / cole Publishing Company, Montery, California.
Galloway, D; 1985. Sources of Satisfaction and Dissatisfaction for New Zaeland Primary School Teachers, Educational Research, 27, 44-51.
Goldenson, R.M; 1984. Longman Dictionary of Psychology and Psychiatry, Longman, New York & London.
Guilford, H.P; 1956. General Psychology, 2 th Edition Third Printing, D. Van Nostrand Company Inc; Princetone New Jersey, New York, Totonto, London.
Hess, F; M; 2004. Teacher Quality, Teacher Pay, Policy Review, No. 124, 15-25, Questia Media America, Inc; http://www.questia.com.
Jensen, A. R. 1981. Straight Talk About Mental Test. The Free Press, New York.
Johnson, T.J; 1991. Profesi dan kekuasaan, Terjemahan Wilandari Supardan, Penerbit : Grafiti, Jakarta.
Jones, J.A; 1963. Principle of Guidance, McGraw-Hill Book Company Inc,
New York.
Jordan, T;J J; 1981. self Concept, motivation, and Academic achievement of Black Adolescences, Journal of Educational Reseach, Vol. 80, No. 5, 266-271.
Kompas, 3 Juli, 2006. M.A. Agar tidak Permisif Terhadap Pemberian, Rendahnya Gaji Tak Boleh Jadi Alasan, Hal. 3.
Kuder Preference Record Vocational Test. 1986. Manual, Urusan Produksi dan distribusi Alat Tes, Fak Psikologi Universitas Indonesia.
Luce, J; A; 2002. Carier Ladder: Modifying Teachers’ Work to Sutain Motivation, Journal of Education Questia Media America, Inc; www. Questia. Com.
Maier, N.R.F; 1970. Psychology in Industry, Third Edition, Oxford & IBH Publishing Co; New Delhi, Calcuta, Bombay.
Maslow, A.H; 1970. Motivation and Personality, 2 th Edition, Harper & Row Publisher, New York, Evanston and London.
——————, 1984. Motivasi dan Kepribadian dengan Ancangan Hirarhi Kebutuhan Manusia, Terjemahan Nurul Iman, Penerbit : P.T. Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta.
Mastuhu, 1980. Masalah Mutu di Pendidikan Swasta, Analisis Pendidikan. Tahun I Nomer : 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 26 – 29.
McMahon, F.B; and McMahon, JW; 1986. Psychology The Hybrid Science, 5 th Edition, The Dorsey Press, Chicago, Illionois.
Newman, WH; 1963. Administrative Action The Techniques of Organisation and Management, Prentice Hall Asian Edition of Japan Inc; Tokyo.
Ofoegbu, F; I; 2004. Teacher Motivation : A Factor for Clasroom Effectiveness and School Improvement in Negeria, College Student Journal, Vol. 38.
Petri, H.L; 1981. Motivation : Thory and Research, Wads Worth Publishing Company, Belmont, California.
Phillips, J.S; and Lord, R.G; 1980. Determinants of Intrinsic Motivation : Locus of Control and Competence Information as Components of Deci’s Cognitive Evaluation Theory. Journal of Applied Psychology, Vol. 65, No.2, 211 – 218.
Pratomo, Siswo; Purnamaningsih, Esti, Hayu; Afiatin, Tina, 1992. Validitas Eksternal Culture Fair Intelligence Test (CFIT) dengan Tes Pema-haman, Tes Penalaran dan Tes Berhitung, Fak. Psikologi UGM, Yogyakarta.
Sondakh, Angelina, 2006. Profesionalisme Guru Sebagai Suatu Kebutuhan, Makalah disampaikan dalam Seminar Membangun Profesionalisme Guru Menuju Pendidikan Berkualitas, Jombang, 1 Februari, 2006.
Suyanto, Bagong, 2006. Dicari Guru yang Suversif, Makalah Disampaikan dalam Seminar Membangun Profesionalisme Guru, Menuju Pendidikan Berkualitas, Jombang, 1 Februari, 2006.
Belum Ada Komentar