DIKTAT KULIAH FILSAFAT ILMU

FILSAFAT
Filsafat terdiri dari dua kata filo dan sofia yang berarti cinta dan kebijaksanaan. Cinta di sini dalam arti yang luas yaitu kinginan yang mendalam. Karena adanya kenginan yang mendalam, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang diingini tadi. Bijaksana juga berarti pengetahuan. Jadi secara harfiah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan yang berarti pula cinta akan pengetahuan secara mendalam (Poedjawijatna, 1980). Kegiatan kefilsafatan merupakan perenungan atau pemikiran secara ketat atau dengan sungguh-sungguh mengenai suatu permasalahan. Filsafat merupakan suatu upaya untuk mengadakan analisis secara cermat terhadap permasalahan-permalahan yang dihadapi manusia melalui aktivitas-aktivitas penalaran. Kemudian hasil analisis tersebut disusun secara sistematis untuk dipahami dan dijadikan sebagai dasar atau acuan perilaku manusia. Selanjutnya filsafat akan mengantarkan kita pada suatu pemahaman tersebut akan membimbing kita kearah yang lebih baik atau lebih layak yang tentunya lebih bijaksana (Kattsoff, 1996).
Kemudian pengertian filsafat berkembang jauh dari arti harfiahnya, namun esensinya tidak terlepas dari upaya memberi pemahaman yang sedalam-dalamnya terhadap suatu masalah atau realitas. Filsafat diartikan sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis serta menyeluruh terhadap realitas serta hakekat dari realitas tersebut. Filsafat juga berarti upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan manusia yang meliputi sumber, keabsahan, hakekat serta nilai-nilainya. Filsafat juga mengandung pengertian, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh berbagai pengetahuan. Filsafat sebagai disiplin pengeetahuan yang berupaya untuk membantu manusia dalam melihat apa yang hendak dikatakan dan mengatakan apa yang hendak dilihat (Bagus, 1996). Filsafat juga berarti suatu cara berpikir yang radikal, menyeluruh dan sedalam-dalamnya terhadap permasalahan-permasalahan (Suriasumantri, 1997). Berpikir sedalam-dalamnya tentunya, untuk menemukan makna yang sedalam-dalamnya pula dari apa yang dipikirkan. Berpikir dalam dunia kefilsafatan tidak hanya sekedar berusaha untuk menjawab pertanyaan, tetapi juga mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan seseorang dalam berfilsafat, tidak hanya diukur dari jawaban yang diberikan, tetapi juga diukur dari pertanyaan yang diajukan (Sokrates, lih. Suriasumantri, 1997).
ILMU
Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai sinonim dari kata science atau dalam bahasa Indonesia di sebut dengan sains.Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari pengetahuan. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, terlepas dari persoalan apa yang diketahui itu benar atau salah. Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pengetahuan, yang membatasi diri pada pengetahuan yang benar saja. Tapi dalam masalah kebenaran ini perlu hati-hati, karena hal tersebut sangat tergantung pada kriteria apa yang digunakan dalam menentukan kebenaran tersebut. Ada tiga macam kebenaran ilmu pengetahuan, yaitu koheren, koresponden dan pragmatis.
Ilmu pengetahuan ilmiah sering disebut dengan ilmu pengetahuan atau disebut dengan ilmu saja. Ilmu adalah sekelompok atau sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik mengenai suatu objek tertentu (Abas Hamami, lih. Siswomiharjo, 1989). Kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik tadi, memberikan penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab akibat dari suatu objek (Ofm, 1983). Ilmu merupakan buah pemikiran manusia dalam menjawab apa, bagaimana dan mengapa (untuk apa). Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dalam rangka menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam (Suriasumantri, 1997). Menjelaskan atau menerangkan serta meramalkan dalam rangka mengontrol gejala alam merupakan kegiatan pokok kegiatan keilmuan. Menerangkan di sini tidak hanya sekedar menginfentarisasi dan mendiskripsikan gejala-gejala alam saja, tetapi membahas tentang hubungan antar gejala tersebut (peursen, 1980).
Kegiatan keilmuan adalah suatu proses kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir tersebut adalah pembahasan mengenai berbagai macam gejala alam atau berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh manusia yang bergerak dari wilayah rasional ke empirik, dari kutub a-priori ke kutub a-posteriori, dari arah das solen ke das sein serta dari pola berpikir deduksi ke induksi. Kegiatan berpikir tersebut bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum-hukum, kaidah-kaidah dan asas dari berbagai permasalahan (Suriasumantri, 1997). Hasil yang didapat melalui proses tersebut adalah ilmu pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu disebut dengan ilmu pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan atau hanya dengan sebutan ilmu saja.
Ilmu dicari manusia dalam rangka menerangkan, meramalkan dan mengontrol gejala alam sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicraan terdahulu, yang saat ini berkembang begitu pesat, sihingga tidak mungkin seseorang dapat mengetahui semuanya, Untuk itu dalam perkembangannya lebih lanjut diadakan pemilahan-pemilahan, agar supaya lebih mudah untuk mempelajarinya. Karena tidak mungkin seseorang dapat menguasai semuanya. Ilmu kemudian ini menjadi menjadi tersepesialisasi dalam berbagai bidang kajiannya. Tapi secara garis besar dapat dikelompokkan dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam (natural science) sasarannya dalah alam semesta. Ilmu pengetahuan sosial (social science) bidang kajiannya adalah perilaku manusia. Ilmu pengetahuan alam masih dikelompokkan menjadi ilmu fisik (physical sciences) dengan bidang kajiannya benda-benda mati, dan biologi yang bidang sasarannya adalah mahluk hidup. Antara ilmu alam dan ilmu sosial tidak terdapat perbedaan yang prinsipiil; karena keduanya memiliki ciri keilmuan dan metode yang sama; hanya yang mungkin berbeda adalah tekniknya (Suriasumantri, 1997 dan suria sumantri, 1998).
FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi keilmuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan yang tidak pernah habis dipikirkan dan tidak akan pernah selesai diterangkan (Siswomiharjo, tt). Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat pengetahuan atau epistimologi (Suriasumantri, 1998). Filsafat pengetahuan (epistimologi) yang disebut pula dengan The Theory of Knowledge lahir pada abad ke 18. Cabang ini membahas sumber-sumber pengetahuan, sarana-sarana pendukung dalam mendapatkan pengetahuan, kebenaran pengetahuan serta nilai-nilai pengetahuan ilmiah. Sumber di mana manusia mendapatkan pengetahuan adalah pancaindra, penalaran, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Kebenaran pengetahuan meliputi kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi dan kebenaran pragmatis. Sarana pendukung di dalam mendapatkan pengetahuan yaitu logika, matematika, statistika, bahasa dan metodologi penelitian (Siswomihardjo, 1989).
Revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang seperti astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, teknologi informatika dan robotika, teknologi trasplantasi organ tubuh manusia ke manusia, dan juga teknologi trasplantasi organ robot ke manusia sudah di depan mata, sampai pada teknologi kloning dan lain sebagainya, telah dilakukan dan dinikmati manfaatnya oleh manusia sejak abad ke 20 sampai menjelang milenium ketiga saat ini. Tetapi di sisi lain penemuan-penemuan tersebut tadi dapat merupakan ancaman dengan kemungkinan-kemungkinan akibat fatal bagi kehidupan manusia, baik dilhat dari sisi fisik, psikologis, sosiologis maupun moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan perkembangannya lebih lanjut, dapat saja digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan dorongan angkara murka manusia, Seperti senjata pembunuh masal yang dapat kita saksikan saat ini. Kemajuan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana telah dikemukakan di atas, jelas memunculkan sikap optimisme sekaligus pesimisme.
Kalau melihat lagi ke belakang, perkembangan ilmu pengetahuan menuntut dan mengarah pada perbedaan-perbedaan atau spesialisasi-spesialisasi khususnya pada objek formanya. Ini terjadi sejak abad penalaran, yaitu sejak tampilnya Charles Darwin dengan teori evolusinya. Sebelum itu, ilmu adalah satu. Artinya tidak jelas atau tidak ada batasan antara objek yang satu dengan objek yang lain. Bahkan objek, metode dan gunanya adalah satu, yang sering disebut dengan ngelmu (Suriasumantri, 1998). Ini jelas akan berpengaruh pada pola kehidupan kemasyarakatan yang tidak membagi pekerjaan atau tugas-tugas atas dasar bidang keahlian masing-masing atau spesialisasinya. Contoh ekstrim misalnya pada masyarakat primitif, seorang kepala suku bisa merangkap berbagai macam jabatan seperti hakim, penghulu, panglima perang, tukang tenung, tabib (untuk segala macam penyakit), bahkan sebagai mediator antara manusia dengan Tuhan (Suriasumantri, 1998).
Perkembangan ilmu yang sudah begitu terspesialisasi, memang sudah terbukti berpengaruh terhadap kepesatan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada saat ini. Akan tetapi spesialisasi dengan kapling masing-masing disiplin ilmu yang begitu sempit dan perkembangannya yang tidak terkontrol, akan menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang ada, peroblema-problema yang dihadapi manusia yang semakin lama bertambah semakin kompleks, tidak dapat dipecahkan secara parsial yang hanya menggantungkan pada satu disiplin yang sempit saja. Misalnya pengadaan pemukiman penduduk, tidak hanya menyangkut masalah penyediaan lahan, bahan bangunan, masalah arsitektur dan lain-lain, tetapi juga menyangkut persoalan-pebrsoalan yang kompleks, baik yang menyangkut aspek fisik, psikologis, sosiologis dan moral. Dalam kondisi yang demikian, kiranya dirasa perlu untuk membuka saluran interaksi antara berbagai cabang ilmu untuk saling memberikan informasi dan kontribusi dalam rangka memecahkan persoalan kemanusiaan yang dihadapi bersama. Untuk membuka saluran komunikasi tadi, dibutuhkan adanya saling kontak antara berbagai disiplin menuju kearah pencapaian hakekat ilmu secara integral. Di sinilah pentingnya filsafat ilmu. Filsafat ilmu dengan cakupan bahasannya mengenai tiang penyangga eksistensi ilmu yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi, memungkinkan adanya keterjalinan antar cabang ilmu (Siswomihardjo, tt). Sehingga dengan demikian, persoalan-persoalan yang sedang dan akan dihadapi bersama (yang tentunya begitu sulit bahkan tidak mungkin diselesaikan secara parsial), akan dapat dipecahkan bersama antar berbagai disiplin ilmu, bahkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain, yang tentunya secara aksiologis kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu kemaslahatan manusia.
ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI
Semua pengetahuan berusaha menjawab semua persoalan yang dihadapi terhadap pertanyaan yang inheren dalam persoalan tersebut yaitu apa, bagaimana dan mengapa atau untuk apa. Maksudnya, apa yang telah, sedang atau akan dikaji, bagaimana cara mengkajinya, mengapa atau apa manfaatnya kajian tersebut. Pertanyaan tentang apa, bagaimana dan mengapa ini dalam istilah kefilsafatan dikenal dengan istilah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. Filsafat menelaah objek kajiaanya atas dasar tiga sudut pandang tersebut.
Istilah ontologi merupakan sebutan lain dari metafisika yaitu segala sesuatu yang ada dibalik fisik. Sebetulnya istilah metafisika sendiri tidak dikenal dalam sejarah pemikiran filsafat Yunani. Istilah tersebut baru diperkenalkan pada awal abad pertengahan oleh Andronikos sebagai sebutan terhadap pemikran-pemikiran Aristoteles yang tertuang dalam tulisannya yang disebut dengan prote philosofia dan disusunnya kembali secara sistematis. Kemudian metafisika yang telah disusun oleh Andronikos tadi dikembangkan lagi oleh Christian Wolf (1679-1754) dan disebutnya dengan istilah ontologi (Wibisono dkk, 1989). Objek kajian metafisika adalah segala sesuatu yang ada, baik dalam abstraknya ataupun dalam kongkretnya. Misalnya pengenalan terhadap manusia, meliputi pengenalan terhadap keberadaan abstraknya sekaligus terhadap keberadaan dalam kongkretnya. Ada dalam abstraknya adalah yang ada dalam angan-angan dan pikiran, sebagai hasil dari absatraksi dan refleksi terhadap objek-objek yang dijumpai atau objek-objek yang ada dalam kongkretnya. Dengan demikian, ontologi atau metafisika adalah pengetahuan yang merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang ada dan keberadanya.
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan kebenaraan dan logos yang berarti pikiran atau teori. Di sini epistimologi dapat dipahami sebagai Teori Pengetahuan atau The Theory of Knowledge yang juga disebut dengan The Phylosophy of Knowledge atau filsafat pengetahuan. Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan, proses dalam mendapatkan pengetahuan, sarana pendukung dalam mendapatkan pengetahuan, macam-macam pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Salahsatu cabang dari filsafat pengetahuan, adalah filsafat ilmu. Jadi filsafat ilmu atau The Phylosophy of Science sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnya, adalah filsafat pengetahuan khusus yang memfilsafati pngetahuan ilmiah.
Masing-masing cabang pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan ilmiah, menjawab apanya, bagaimananya dan mengapanya atau untuk apanya sendiri, dalam arti masing-masing pengetahuan memiliki ontologi, epistimologi dan aksiologinya sendiri. Kalau ontologi dalam kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang menjawab pertanyaan yang meliputi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, misalnya apa alam semesta beserta hakikatnya, apa manusia itu dan sebagainya. Sedangkan ontologi ilmu pengetahuan ilmiah menjawab pertanyan tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, tetapi yang dapat dijangkau oleh akal/penalaran, dan dapat diamati atau dialami oleh manusia. Misalnya pertanyaan tentang apa manusia (subjek) dibatasi pada aspek kebudanyaanya, psikologisnya, perilaku sosialnya dan berbagai aspeknya (objek) yang dapat dinalar sekaligus dapat diamati atau dialami.
Epistimologi kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang bagai mana cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Ontologi dalam keilmuan yaitu metode atau cara dalam mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Misalnya bagaimana atau dengan metode apa yang dapat digunakan untuk mencapai objek dan subjek yang dikaji tadi.
Aksiologi ……………..
ILMU DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT
Berfilsafat bukanlah monopoli para filosof, karena berfilsafat memang merupakan aktivitas manusia dari sejak awal keberadaannya. Disadari atau tidak, setiap individu akan berfilsafat pada saat dihadapkan pada masalah hidup yang fundamental, yang membutuhkan jawaban yang jelas. Ini diawali sejak manusia mulai mengagumi sesuatu, mempertanyakan makna serta asal mulanya. Sejak saat itu pula dengan berbagai upaya dan cara manusia berusaha mendapatkan jawaban, sekalipun jawaban yang didapat akhirnya masih berada dalam wilayah yang bersifat spekulatif dan non empirik (Siswomihardjo, 1985). Filsafat sebagai pengetahuan dan bahkan dikatakan sebagai induk dari semua pengetahuan di sini, dalam arti tradisi pemikiraan barat atau filsafat barat. Filsafat barat tersebut tidak bisa terlepas dari tradisi pemikiran Yunani kono yang memang menjadi sumber atau akarnya di dalam sejarah perkembangannya.
Sekalipun filsafat bukanlah monopoli filosof barat, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan filsafat barat sebagaimana telah disebutkan di atas, yang sumbernya memang dari filsafat Yunani kono. Ini dimulai dengan munculnya kaum sofis yang disusul kemudian oleh Sokrates, Plato, Aristoteles dan lainnya. Sebelum munculnya kaum sofis tadi, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya, orang Yunani mencari jawabannya dalam bentuk metos-metos. Atas dasar metologi, manusia pada waktu itu, berusaha menjelaskan berbagai macam gejala alam dengan segala macam aturannya; sedangkan para dewa dengan segala keperkasaan dan kekuasaannya ditempatkan sebagai sumber segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam semesta.
DEMETOLOGI DARI KAUM SOFIS
MASA SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES
MASA ABAD TENGAH
MASA RENAISSANCE
Masa ini renaissance muncul seiring dengan berakhirnya masa abad pertengahan mulai abad ke 14 sampai dengan abad ke 15. Masa ini dianggap sebagai masa transisi antara jaman abad pertengahan dengan masa moderen. Begitu sulit menentukan pastinya kapan berakhirnya abad pertengahan secara tepat. Hanya pada abad ke 14 terjadi krisis dan titik jenuh abad tengah dimaksud dan puncaknya pada abad ke 15. Kemudian lahirlah suatu gerakan yang dikenal dengan gerakan renaissance. Kata renaissance berasal dari bahasa Italia yaitu renascimento yang berarti kelahiran kembali. Kelahiran kembali maksudnya adalah kelahiran suatu peradaban yang pernah berjaya yaitu pada masa Sokrates, Plato dan Aristoteles sebagai antiklimaks dari dominasi doktrin agama dan geraja pada abad tengah. Masa Sokrates, Plato dan Arestoteles adalah masa-masa di mana manusia memiliki kebebasannya untuk menggunakan rasionya sebagai sumber utama dalam mengenal dan mengerti dirinya sendiri, alam semesta serta kenyataan hidup dengan segala bentuk dan hakekatnya. Pada masa itu hak individu sebagai manusia perseorangan diakui sebagai faktor utama dalam pengembangan budaya. Sebagai konsekuensi dari kebebasan menggunakan rasio, kebebasan setiap individu untuk mengembangkan budayanya adalah pemikiran waktu itu tidak hanya terkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat transendental saja, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat immanent. Immanent adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Para filosof masa ini berusaha menghidupkan kembali kebudayaan, kesusastraan dan kesenian klasik serta pemikiran kefilsafatan dengan mencari inspirasi dari warisan kebudayaan Yunani dan Romawi.
Sekalipun dalam sejarah kefilsafatan disebutkan bahwa masa renaissance dimulai sejak abad ke 15, tetapi embrionya sudah terjadi sejak abad ke 14; oleh para humanis di Italia. Dalam masa abad pertengahan, mereka telah mempelajari naskah-naskah karya para penulis Yunani dan romawi. Para humanis mengusahakan adanya kepustakaan yang baik, dengan mengikuti jejak kebudayaan klasik. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan perkembangan sifat-sifat dan potensi alamiah yang dimiliki manusia. Para humanis Itali tidak menyangkal adanya kuasa yang lebih tinggi yaitu Tuhan dengan Wahyunya yang menjadi doktrin pada abad pertengahan. Hanya menurut mereka potensi sifat dan potensi alamiah yang dimiliki oleh manusia memiliki nilai yang cukup untuk dikenali dalam rangka upaya memanusiakan manusia, karena dengan potensi yang ada, manusia dapat pula menghasilkan karya budaya. Mereka tidak serta merta meninggalkan ajaran Abad Tengah, tetapi berusaha menjembatani dalam rangka adaptasi antara doktrin gereja dengan filsafat dan kebudayaan Yunani klasik.
Kemudian, di Jerman timbul pula kaum humanis. Hanya berbeda dengan kaum humanis di Italia yang masih mengindahkan kuasa yang lebih tinggi di atas manusia; kaum humanis Jerman hanya menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagimana adanya yang terlepas dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan Wahyu. Mereka menerima hidup apa adanya, dalam batas keduniawian. Demikianlah kaum humanis dengan upaya mempelajari naskah-naskah klasik Yunani dan romawi ikut mengantarkan kelahiran masa renaissance yang menjadikan kebudayaan hanya bersifat alamiah dan kongkret saja (Hadiwijoyo, 1980). Pada masa renaissance perkembangan penetahuan tidak hanya dalam bidang ilmu alam saja, tetapi juga dalam bidang ilmu ketatanegaraan (Hadiwijono, 1980).
Tokoh-Tokoh Zaman Renaissance
Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Copernikus adalah tokoh gereja ortodoks. Berdasarkan temuannya dia menyatakan bahwa matahari sebagai pusat jagat raya. Teori ini berbeda sama sekali dengan teori geosentrisme dari Ptolemeus yang telah diadopsi dan menjadi doktrin gereja pada saat itu; yang menyatakan bahwa pusat jagat raya adalah bumi. Pandangan Copernicus tadi disebut dengan heleosentrisme. Teori heleosentrisme menyatakan bahwa bumi memiliki dua macam gerak, yaitu berputar pada porosnya setiap hari dan mengelilingi matahari setiap tahun. Copernikus tidak mempublikasikan temuannya, karena takut akan sangsi dari gereja. Setelah setahun kematiaanya tahun 1543, temuan tadi dipublikasikan oleh temannya. Buku tersebut dipersembahkan kepada Sri Paus, dan beredar secara luas dikalangan masyarakat tanpa ada kecurigaan. Orang hanya menganggap sebagai pendapat lain yang kebetulan berbeda dengan teori Ptolomeus yang memang menjadi tren pemikiran masyarakat waktu itu.
Johanes Kepler (1571-1630). Ia adalah tokoh yang menerima teori heleosentrisme setelah Kopernikus. Dia menemukan tiga hukum gerak bagi planit-planit. Pertama, planit-planit bergerak dengan membuat lingkaran elips, mengelilingi matahari sebagai fokusnya. Kedua, garis yang menghubungkan pusat planit dengan matahari, dalam waktu yang sama akan membentuk bidang yang sama luasnya. Ketiga, kuadrad periode planit mengelilingi matahari, sebanding dengan pangkat tiga dari rata-rata jaraknya terhadap matahari.
Galileo Galilei (1564-1642). Ia membuat sendiri sebuah teleskop setelah terinspirasi oleh teleskop buatan Hans Lipper yang ia kenal sebelumnya. Teleskop tadi dipakai untuk menjelajahi jagat raya, yang kemudian menemukan bahwa bintang bima sakti terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahya; dan masing-masing bintang berdiri sendiri. Pandangnnya tentang jagat raya, sejalan dengan teori heleosentrisme seagaimana halnya Kopernikus dan Johanes Kepler. Selain itu, ia adalah orang yang pertama menetapkan hukum akselerasi atau kecepatan benda jatuh baik dalam besarannya ataupun arah geraknya. Jika sesuatu benda jatuh di ruang kosong, maka kecepatan kejatuhan tadi akan tetap. Tetapi, kalau di ruang tadi ada udara yang bergerak secara berlawanan, maka kecepatan gerak kejatuhan tadi akan berubah. Akselerasi tadi akan tetap sama bagi semua benda, baik yang berat atau yang ringan. Ajaran heleosentrisme atas dasar temuan Galilei ini, menggoncangkan gereja. Pada tahun 1632 gereja secara terbuka menuntut Galilie untuk menarik ajarannya.
Hugo Ge Groot (1583-1645). Ia menyusun gagasan tentang Hukum Internasional.
Niccolo Machiavelli (1467-1525). Ia mengemukakan gagasan tetang negara otokratis.
Thomas More (1480-1535). Ia memiliki obsesi tentang negara Utopia. Yang dimaksudkan dengan negara utopia adalah masyarakat agraris, yang berdasarkan keluaraga sebagai sistem kesatuan dasar, yang tidak mengenal hak milik pribadi dan tidak mengenal ekonomi uang.
Masa renaissance, mengantarkan manusia pada kedewasaan berpikir sampai pada puncak kejayaannya pada abad ke-17. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dan dua aliran besar yang saling bertentangan yaitu aliran Rasionalisme dan Emprisme
Francis Bacon (1961-1626). Ia berpandangan bahwa pengetahuan yang telah ada sebelumnya, tidak mendorong perkembangan pengetahuan, tidak ada kemajuan, dan tidak memberikan manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Ia berupaya mengubah cara lama di dalam mendapatkan pengetahuan, dengan upaya menyusun prosedur keilmuan secara logis dan sisitematis. Ia lalu mengembangkaan metode induksi moderen. Ia berupaya untuk menjadikan manusia dapat menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan cara penemuan-penemuan empirik.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Bird, A; 2000. Philosophy of Science, Fundamental of Philosophy, Series Editor: John Shand U.C.L. Press, Taylor & Francis Group, London.
Blashov, Y. and Rosenberg, A; 2002. Philosophy of Science Contemporary Readings, Routledge, Taylor & Francis Group, London and New York.
Kattsoff, L; O; 1996. Pengantar Filsafat (Alih Bahasa, Sumargono), Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.
Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit kanisius, yogyakarta.
Poedjawijatna, I;R; 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Cetakan Kelima, Penerbit P.T. Pembangunan, Jakarta.
Siswomihardjo, Kunto, Wibisono, tt. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, (Bahan Kuliah untuk Program S-2 dan S-3 di UGM)
————–, 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
————–, 1989. Materi Pokok Dasar-Dasar Filsafat, (Universitas Terbuka), Penerbit Kurnia, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun, 1997. Ilmu dalam Persfektif Sebuah Kumpulan Karangan Hakekat Ilmu, Cetakan Ketigabelas, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia.
————–, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan kesebelas, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (Terjemahan J. Drost), Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.
Belum Ada Komentar