PEMBELAJARAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN PERILAKU ORGANISASI

Oleh:. M. As’ad Djalali, S.U.

 

Makalah: Disampaikan  untuk Pembekalan dalam rangka Pengembangan Mind Set Pejabat Eselon III Pemerintah Kabupaten Pamekasan  di Pamekasan tgl. 7-9 Mei 2008

 

I. Pendahuluan

 

Organisasi adalah entitas sosial (sekelompok individu), yang dikoordinasikan secara sadar, dalam waktu yang relatif berkesinambungan, untuk mencapai suatu tujuan atau sekelompok tujuan bersama. Entitas sosial di sini, berarti suatu organisasi atau unit organisasi terdiri dari sekelompok orang yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Dikoordinasi secara sadar, berarti dalam suatu organisasi ada manajemen. Hubungan antara anggota dengan organisasi dicapai melalui perjanjian ekspilisit atau inpilsit. Dalam kebanyakan hubungan kepegawaian, terdapat sebuah perjanjian yang implisit, di mana pekerjaan ditukar dengan pembayaran upah/gaji. Dalam organisasi sosial seperti lembaga sosial kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat, para anggota memberikan kontribusi dengan insentif prestise, interaksi sosial dan kepuasan psikologis dalam membantu orang lain. ( Robbins, 1994; Robbins, 1996). Organisasi memiliki peranan sentral dalam kehidupan kita saat ini. Kebutuhan-kebutuhan dasar sekalipun, seperti air yang kita minum makanan yang kita konsumsi, baju yang kita pakai, kendaraan yang kita kemudikan sehari-hari, semua didapat dengan jasa organisasi-organisasi yang ada (Werther, & Davis, 1996).

 

II. Organisasi Belajar secara Berkesinambungan

 

Belajar, dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku akibat dari pengalaman. Perubahan tingkah laku dimaksud, tentunya merupakan perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang sedikit tahu menjadi tahu lebih banyak dan lebih luas, dari yang tidak baik menjadi baik, dan dari yang baik menjadi lebih baik. Pengalaman merupakan sebuah tantangan, atau dapat pula tantangan merupakan suatu pengalaman yang dapat menjadi stimulan, atau pemicu atau motivator untuk belajar. Semua organisasi akan selalu menghadapi tantangan-tantangan, baik dari luar (seperti para pesaing serta kemajuan ilmu dan teknologi) maupun dari dalam organisasi itu sendiri. Tantangan dari dalam organisasi adalah yang berhubungan dengan sumberdaya manusia dan perkembangan dari organisasi itu sendiri. Perkembangan, baik yang mengarah kepada kegagalan, atau yang mengarah kepada keberhasilan, merupakan tantangan bagi suatu organisasi.

 

 

 

 

 

 

Belajar dari kegagalan

 

Kegagalan merupakan suatu tantangan di mana organisasi harus menghadapi tantangan ini untuk belajar. Seperti yang dialami oleh General Radio Company (GRC) sebuah perusahaan, yang memproduksi alat-alat testing elektronik di Amerika Serikat.  Pada waktu perang dunia ke II, perusahaan tersebut merupakan yang terbesar. Tetapi karena kalah bersaing dengan perusahaan lain, pangsa pasarnya terkikis. Berdasarkan pengalaman tersebut, pada tahun  1972 GRC mengadakan reformasi atau perubahan sistem secara komprehensif yang lebih berorientasi pada pasar. Lini produksi yang sebelumnya berjumlah dua puluh, dipangkas menjadi tiga, yang ditekankan pada lini produksi, penjualan dan pemasaran.

 

Pada tahun 1973, GRC merekrut sekelompok eksekutif dari luar organisasi, untuk membantu melaksanakan manajemen perusahaan yang telah diperbaharui tadi. Untuk simbolisasi secara formal perubahan tersebut, pihak manajemen  mengganti nama lama, menjadi GenRad. Dengan reformasi tersebut, volume penjualan yang pada tahun 1972 hanya $ 44 juta, meningkat tajam sampai $ 200 juta pada pertengahan 1980 (Robbins, 1994). Ini sebuah contoh di mana organisasi belajar (merubah kinerjanya) atas dasar kegagalan yang telah dialami.

 

Belajar dari keberhasilan

 

Bukan hanya kegagalan saja yang menuntut perubahan, tetapi juga keberhasilan. Celestial Seasoning Inc. (CS) sebuah perusahaan yang memproduksi minuman kesehatan,  yang didirikan oleh Mo Siegel dan John Hay pada tahun 1971. Awalnya pekerjaan di perusahaan CS ditangani oleh keluarga mereka berdua yang kala itu masih berumur 20 tahunan. Siegel dan Hay memetik tumbuhan yang terdapat di jurang dan tebing di sekitar tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, istri mereka menjahit karung, dan memilah tumbuhan yang telah didapat untuk di buat teh setelah dicampur dengan beberapa ramuan.  

 

Pada tahun pertama SR memasok sepuluh ribu kantong besar teh ramuan, ke toko-toko makanan di sekitar tempat tinggal mereka. Di awal berdirinya, SR juga dibantu oleh teman-teman mereka bersama keluarganya. Tidak ada diskripsi tugas, tidak ada lini produksi, kecuali pembagian kerja. Cara membuat keputusan semuanya tergantung pada nilai yang dianut oleh para pendirinya. Pertemuan informal dilakukan seminggu sekali. Tetapi yang dibicarakan bukan hal yang krusial, hanya menyangkut ciri filosofis dari kantong  teh yang dibuat, pertandingan volleyball, dan makan siang.

 

Pada pertengahan tahun 70 an, permintaan teh jamu produksi CR terus meningkat secara menakjubkan, sehingga tidak dapat terpenuhi dengan sumberdaya dan sistem yang ada selama ini. CS membutuhkan banyak pekerja dan struktur yang lebih formal. Pada saat ini CS mempekerjakan lebih dari 200 orang termasuk para professional dan dilengkapi beberapa departemen, ada lini-lini produksi, dengan diskripsi pekerjaan yang jelas. Mereka menempati lima buah gudang, di mana sebelumnya para pekerja dan semua yang terlibat berkumpul hanya dalam satu gudang saja (Robbins, 1994). Di sini CS belajar dalam arti merubah perilaku untuk lebih meningkatkan kinerja justru melalui pengalaman keberhasilannya.

 

Pertanyaanya apakah  Genenral Radio Company Inc. dan Celestial Seasoning akan berhenti belajar dengan kondisi organisasi (perusahaan) yang sudah seattle tadi. Tentunya tidak, karena pembelajaran dalam organisasi berarti pengujian pengalaman secara terus menerus (Senge, 2002). GRC belajar dari kegagalan menjadi sukses, dan CS karena keberhasilannya belajar untuk meraih sukses yang lebih besar, di mana hal  ini merupakan pengalaman baru bagi organisasi. Akumulasi dari pengalaman-pengalaman akan menjadi pengetahuan. Pengalaman ini juga akan menjadi stimulan untuk pembelajaran lebih lanjut. Selain itu semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin banyaknya organisasi kompetitor yang tentunya juga saling berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam pengertian luas, menuntut suatu organisasi untuk terus belajar tanpa henti.

 

Belajar dari pengalaman masa lalu

 

Organisasi besar seperti negara kita mulai sejak merdeka sampai era reformasi seperti sekarang ini, juga masih terus belajar terutama di dalam sistem birokrasinya. Awalnya, sistem presidensial, menjadi sistem parlementer, lalu kembali lagi ke sistem presidensial yang terjadi pada jaman orde lama. Apa yang terjadi di zaman orde lama merupakan pengalaman yang mengharuskan negara kita untuk belajar lagi, memperbaiki sistem dan visi pemerintahannya. Misalnya kalau pada jaman orde lama sistem kepartaiannya terdiri dari banyak partai dengan berbagai macam ideologi, dipangkas menjadi hanya tiga partai dengan satu partai yang dominan dan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. Sistem pemerintahan yang gemuk dengan seratusan menteri menjadi ramping hanya dengan belasan menteri. Atau visi pembangunan orde lama yang cenderung beorientasi politik, berubah pada visi keamanan dan pembangunan ekonomi yang pada awalnya dititik beratkan pada sektor pertanian.

 

Jaman orde baru dengan keberhasilan dan kegagalannya memberikan pengalaman bagi kita untuk belajar dalam arti untuk berubah menjadi baik dan lebih baik. Sistem tiga partai, dengan satu partai yang dominan yaitu partai pendukung pemerintah, mengantarkan pada pemerintahan yang otoriter dan makiavilian. Visi pembangunan yang menekankan pada keamanan memunculkan pola pemerintah yang cenderung meliteristik  dan banyak terjadi pelanggaran HAM yang menakutkan, dan oknum militer masuk ke semua sektor mulai dari sektor legislatif, eksekutif atau sektor-sektor lain di kalangan pemerintahan atau non pemerintah bahkan sampai dunia pendidikan juga dirambahnya. Penekanan pada pembangunan ekonomi memunculkan pola pikir pragmatis, pola hidup yang hedonik dan pemerintahan yang penuh dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), monopoli dan oligopoli.

 

Penekanan pembangunan pada bidang ekonomi, dengan mengabaikan aspek yang lain khususnya pendidikan, telah menyebabkan kualitas sumberdaya manusia kita kalah bersaing dibandingkan negara-negara lain, dan mengantarkan kita pada label negara pengekspor tenaga kerja berkualitas rendah sekelas kuli bangunan dan pembantu rumah tangga. Pemerintahan yang sentralistik menyebabkan pembangunan hanya berpusat di Jakarta dan sekitarnya saja; sedangkan daerah tetap terbelakang.  

 

Belajar dari pengalaman jaman orde baru, orde reformasi mereformasi segala sistem yang ada pada jaman orde baru. Sistem tiga partai kembali lagi menjadi multi partai dengan ideologi partai tidak hanya Pancasila, serta jatah kursi militer di lembaga Legislatif dihapus dan segala sesuatu yang berbau militer direduksi. Pembangunan sumberdaya manusia mulai diperhatikan, misalnya perhatian terhadap dunia pendidikan. Berbagai komisi untuk menangani perilaku KKN, monopoli dan oligopoli, dan pelanggaran HAM, dibentuk komisi-komisi seperti KPK, KPPU, Komnas HAM di samping komisi-komisi yang lain. Pemerintahan tidak sentralistik lagi dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah. Pemerintah Daerah dapat memprogramkan pembangunan daerahnya sendiri, dan bebas menyusun APBD dan PAD nya sendiri. Orde baru telah belajar dari pengalaman orde lama untuk menjadi baik dan orde reformasi telah belajar dari pengalaman orde baru utuk menjadi lebih baik. Pertanyaannya apakah pada era reformasi kita, Negara kita, bangsa kita sudah menjadi baik?. Rupanya kita masih harus terus balajar, karena proses belajar dalam dunia organisasi berarti pengujian pengalaman secara terus menerus (Senge, 2002).

 

III. Peran Pribadi dalam Organisasi 

 

Banyak orang mengatakan lebih enak dulu jaman orde baru, kita lebih tenang, lebih aman, lebih makmur dan sebagainya. Orang tidak kesulitan bahan bakar untuk memasak, harga minyak goreng dan kebutuhan yang lain tidak sulit dijangkau masyarakat bawah, tidak usah repot menunggu jatah beras murah dan sebagainya. Itulah persepsi sebagian masyarakat awam saat ini, yang membandingkan seolah lebih baik jaman orde baru dibandingkan masa reformasi seperti sekarang. Rupanya hal tersebut punya alasan kongkret, berdasar apa yang mereka alami dan mereka rasakan. Sebetulnya rejim orde reformasi telah cukup uapaya untuk belajar dengan meperbaiki sistem mulai dari amandemen UUD-1945, berbagai macam undang-undang dengan perangkat berbagai Peraturan Pemerintah telah dihasilkan, untuk lebih baik, lebih mamakmurkan dan mensejahterkan masyarakat. Tapi kenapa hasilnya masih begini ?

 

Sebetulnya sebaik apapun peraturan, sebaik apapun sistem yang ada, tanpa didukung oleh perilaku orang, atau segenap komponen yang ada dalam sistem  tersebut tidak akan berbuah baik. Dalam arti kata semua tergantung pada individu-individu yang ada dibalik peratuan dan sistem tersebut.   

 

Pemimpin dan anak buah

 

Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bawa organisasi adalah terdiri dari sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan atau sekelompok tujuan bersama. Ini berarti bahwa suatu organisasi atau unit organisasi terdiri dari sekelompok orang yang saling berinteraksi antara satu sama lain. Dalam suatu organisasi, individu harus bekerja dengan orang lain, pimpinan dengan pimpinan organisasi lain, pimpinan dengan anak buah/anggota, pimpinan unit dengan pimpinan unit yang lain dan dengan pimpinan di atasnya, pimpinan unit dengan anggota/anak buah, anggota dengan pimpinan serta anggota dengan pimpinannya.

 

Pimpinan dan karyawan dalam suatu organisasi memiliki kewajiban yang sama yaitu melakukan aktivitas demi tercapainya tujuan organisasi, sekalipun posisi dan kewenangannya berbeda. Karyawan bertugas melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah didelegasikan kepadanya oleh pimpinan, atau aktivitas-aktivitas yang telah  menjadi kewajibannya. Sedangkan pimpinan salah satu fungsinya adalah memimpin (leading), yaitu mengatur dan memotivasi anak buah (pekerja, pegawai atau karyawan).

 

Produktivitas organisasi sangat tergantung kepada kinerja segenap individu yang terlibat, dalam hal ini karyawan dan pimpinan. Kinerja ini sangat ditentukan oleh kohesivitas dan sinergi dari semua individu yang terlibat, di samping oleh oleh motivasi ketrerampilan, dan pengalaman mereka. Terciptanya kohesivitas dan sinergi tersebut menuntut keterampilan yang disebut dengan keterampilan manusiawi. Dalam suatu penelitian terhadap 191 eksekutif dari 500 perusahaan yang diambil secara sampling, ditemukan bahwa yang menjdi sebab kegagalan sebuah organisasi, disebabkan karena rendahnya kemampuan manusiawi (Robbins, 1976). Dalam suatu organisasi baik pimpinan maupun anak buah dituntut untuk saling berinteraksi, sesuai dengan kedudukan, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi. Ini menuntut keterampilan manusiawi yang memadai bagi mereka masing-masing.

 

Pola pikir (mind-set) individu dalam dunia kerja

 

Pola pikir, sering disebut dengan mind-set yang oleh Willian James disebut dengan ideo motor actiondan Tolman menyebut peta kognitif (cognitive map) dan Peter M. Senge menyebutnya dengan istilah model mental (lih.Petri, 1981; Petri,  1996 dan Senge, 2002).

Pola pikir merupakan gambaran, asumsi, dan metologi/keyakinan yang ada di dalam kognisi seseorang, yaitu tentang dirinya, mengenai orang lain, lembaga dan segala aspek dalam kehidupan yang melingkupinya. Pola pikir ini mengendap di alam bawah sadar, tidak bisa kita lihat, kecuali dengan sadar kita berusaha menungkapnya dengan memberikan stimulasi agar mencul kepermukaan (Senge, 2002).

 

Dalam dunia kerja atau dalam suatu sistem organisasi, yang dipenuhi dengan aturan-aturan, nilai-nilai, agama, budaya dan cakrawala lain, yang secara sosiologis maupun psikologis berbeda bahkan mungkin bertentangan dengan pola pikir kita. Ini menuntut upaya penyesuaian diri dari kita, dengan mengadakan introspeksi, dan mengadakan refleksi ulang terhadap nilai-nilai yang kita miliki dan terhadap apa yang telah kita lalukan  sebelum merespon cakrawala baru tadi (Senge, 2002). Dalam kata lain sebelum merespon suatu stimulus yang datang dari luar, kita harus mengaca dulu untuk tahu siapa diri kita masing-masing. Dengan demikian, segenap individu dalam organisasi yang tentunya memiliki latar belakang berbeda, dapat saling menyesuaikan diri, dan mensinergikan pola pikir masing-masing menjadi mind-set kolektif dalam merespon peraturan, budaya dan sistem yang sudah menjadi garis oraganisasi, untuk mencapai tujuan organisasi.

 

Kognisi, afeksi dan konasi dan kemampuan adaptasi

 

Berbicara tentang perilaku, secara psikologis menyangkut aspek kognitif, afektif dan konatif. Ada sejumlah perilaku yang relatif tetap, dan kemunculannya bersifat mekanistik, dan ada sejumlah perilaku yang kemunculannya melalui proses-proses kognitif. Pola pikir (mind-set)  dalam psikologi dikenal pula dengan  kognitif. Pola kognitif ini memberikan arah untuk munculnya suatu tindakan. Proses kognitif tidak serta merta lalu memunculkan tingkah laku, tetapi masih melalui aspek lain yaitu aspek afetif.

 

Aspek afektif merupakan aspek perasaan dari sistem psikologis seseorang. Ini menyangkut sikap senang dan tidak senang, setuju dan tidak setuju, menerima atau menolak. Pemahaman seseorang tentang dirinya, tentang orang lain, tentang lingkungan, tentang sistem dan aturan dalam suatu organisasi, tidak serta merta berkelanjutan pada respon positif terhadap sistem dan aturan dalam organisasi tadi, tanpa adanya sikap positif, yaitu senang, setuju atau menerima. Sikap menyenangi, menerima, menyetujui tehadap sisitem atau aturan yang ada, akan mengantarkan individu untuk merespon secara aktual terhadap sistem dan aturan organisasi tadi. Ini yang disebut dengan aspek konatif (psikomotorik)

 

Dalam suatu organisasi yang terdiri dari sekumpulan orang dengan karakter masing-masing, dengan pola pikir masing, perlu memahami segala sesuatu yang berkitan dengan organisasi, baik itu sistem, aturan, budaya dan sebagainya, untuk memadukan pemahaman (kognitif), memadukan sikap (afektif) dan kebersamaan dalam bertindak (konatif), demi tercapainya tujuan organisasi. Individu-individu dalam organisasi baik pimpinan dengan anggota, atau bawahan dengan atasan dituntut untuk saling beradaptasi (asimilasi dan adaptasi). Dalam hal ini antara individu dengan lingkungannya saling berinteraksi secara dyadic. Artinya individu dalam interaksinya tidak hanya mempengaruhi orang lain, tetapi sekaligus juga dipengaruhi. Ini terjadi sepanjang masa, dalam rentang kehidupannya.

 

Hal tersebut di atas, menuntut kemampuan intra dan interpersonal masing-masing inidividu. Kemampuan untuk melakukan hubungan intra dan interpersonal ini, merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat melaksanan segala aktivitas dalam kehidupannya termasuk dalam rangka  tugas kewajiban dalam suatu organisasi atau instansi, baik sebagai pemimpin/atasan maupun sebagai karyawan/bawahan. Di samping potensi-potensi lain dalam diri individu, kemampuan adaptasi sangat menentukan keberhasilan seseorang di dalam setiap lapangan kehidupannya termasuk dalam dunia kerjanya.

 

IV. Penutup

 

Organisasi adalah entitas sosial, yang dikoordinasi secara sadar dalam waktu yang relatif berkesinambungan. Organisasi memiliki peranan sentral dalam kehidupan,saat ini karena tidak seorangpun akan tertepas dari jasa organisasi-oraganisasi yang ada, dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan dasar sebagai mahluk individu (fisiologis & psikologis) maupun kebutuhan sebagai mahluk sosial.

 

Semua organisasi akan menghadapi tantangan-tantangan, baik yang datangnya dari luar ataupun dari dalam organisasi itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, keberadaan organisasi lain sebagai patner maupuan sebagai kompetitor, perkembangan dari organisasi yang bersangkutan serta sumberdaya manusia yang ada, merupakan tantangan bagi suatu organisasi untuk terus belajar.

 

Kegagalan dan keberhasilan yang telah dicapai,  merupakan pengalaman pasang surut yang di hadapi organisasi,  serta target yang ingin di capai di masa yang akan datang, merupakan suatu stimulan bagi organisasi untuk terus belajar dalam arti merubah kinerja yang tidak baik untuk menjadi baik, yang sudah baik untuk menjadi labih baik.

 

Negara kita merupakan suatu organisasi besar yang juga tak lepas dari tuntutan-tuntutan untuk terus belajar. Pengalaman di masa orde lama merupakan stimulan untuk munculnya orde baru, pengalam di masa orde baru merupakan stimulan untuk munculnya era reformasi, dan keberhasilan serta kendala di era reformasi dan target yang ingin dicapai di masa yang akan datang, merupakan motivator bagi kita untuk terus belajar.

 

Belajar dalam suatu organisasi, pada hakekatnya adalah perubahan perilaku atau kinerja dari individu-individu yang ada di dalamnya. Perubahan kinerja menyangkut pola pikir (kognitif), sikap (afektif) dan kecendrungan bertindak (konatif) sampai pada perilaku aktual/kongkret. Segenap individu dalam organisasi dituntut untuk selalu saling adaptatif baik antar individu atau antara individu dengan organisasi atau lembaga.

 

 

Perilaku belajar dari organisasi pada hakekatnya adalah, segenap orang yang terlibat dalam organisasi tersebut yang belajar. Perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik, dan dari yang baik menjadi lebih baik, pada hakekatnnya adalah perubahan manusianya. Sebaik apapun sistem dan aturan yang ada dalam suatu organisasi, tidak akan ada artinya apabila tidak didukung oleh orang-orang yang berkompeten, serta komitmen dari orang-orang yang terlibat.  Dalam kaitannya dengan materi dan prinsip-prinsip utama tentang perubahan perilaku ini mungkin sudah banyak yang mempelajari dan mengetahui. Sekalipun demikan begitu sulit bahkan tidak seorangpun dapat menjamin perubahan perilaku ini secara pasti dengan bentuk pembelajaran apapun, kecuali ada motivasi atau niatan dari individu yang bersangkutan. Naskah ini hanyalah bisa memberikan stimulan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang akan mendorong dan mendukung orang-orang ingin meningkatkan kinerja mereka, sekaligus meningkatkan kinerja organisasinya (Senge, 2002).   

 

 

 

 

 

 

Daftar Acuan:

 

 

Baron, R;A; & Byrene, 1991. Social Psychology, Understanding Human Interaction, 5th Edition, Boston.

 

Crano, W;D; & Messe, L;A; 1982. Social Psychology, Principle and Themes of  Interpersonal Behavior, Dorsey Press, Homewood, Ilinois.

 

DeCenzo, D; & Silhanek, B; 2002. Human Relation, Personal and  Professional Development,  2th Edition, Prentice Hall, New York.

 

Devis, K; & Nestrom, J;W; 1989. Human Behavior at Work, Organizational Behavior, 8th. Edition, McGraw-Hill Book Company, New York.

 

DeVito, J;A; 1997. Komunikasi Antar Manusia, Edisi Kelima, Terjemahan:

              Agus Maulana dan Lyndon Saputra, Penerbit: Professional Books, 

              Jakarta.

 

Hodgetts, R; M; 2002. Modern Human Relation at Work, 8th Edition, South-Western, Thomson Learning, Australia.

 

Kreitner, R; & Knicki, A; 2007. Organizational Behavior, 7th Edition, McGraw-Hill Internatioanl Edition, New York, U.S.A.

 

Petri, H.L. 1981. Motivation Theory and Research, Wadsworth publishing company, Belmont, California.

 

————– 1996. Motivation, Theory,  Research and Applications, Fourth Edition,

            Brooks/Cole Publishing Company, New York.

 

Robbins, S;P; 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain & Aplikasi, Edisi ketiga,

             alih Bahasa: Jusuf Udaya, Arcan.

 

————–; 1996. Organisational Behavior, Internatinal Editions, Prentice- Hall International, Inc, New Jersey (USA).

 

Senge, M. P; dkk; 2002. Buku Pegangan Disiplin Kelima (The Fifth discipline Fieldbook) Terjemahan: Hari Suminto, Interaksara.

 

Werther Jr, W.B; & Davis, K. 1996. Human Resources and Personel Management, 5th, McGgraw-Hill, Inc. New York, U.S.A.

Artikel Terkait

Belum Ada Komentar

Isi Komentar