DUNIA PENDIDIKAN SEBAGAI TUMPUAN HARAPAN UNTUK MENCEGAH KORUPSI DI MASA MENDATANG (Kurikulum Anti Korupsi)

Oleh:  M. As’ad Djalali 

Pendahuluan

 

Tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Gubernur Bank Indonesia dan dua orang anggota DPR, terkait kasus penyalahgunaan dana sebesar Rp. 127, 8 milyar yang sebagian dari uang tersebut mengalir ke oknum DPR, polisi, jaksa dan hakim, yang sudah diusut sejak akhir 2006 (Tempo, 14-20 April, 2008; Jawa Pos, 18-4, 2008). Sebelumnya tim KPK menangkap seorang anggota DPR-RI di  sebuah hotel atas dugaan skandal suap oleh pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan di sebuah hotel di Jakarta (Kapanlagi.com, 10-4- April 2008); yang selanjutnya akan membidik sembilan orang anggota yang lain (Jawa Pos, 16-4, 20008), telah menambah panjang deretan terbongkarnya  kasus tindak korupsi yang dilakukan para wakil rakyat di Negeri ini. Dalam kaitannya dengan ini, peneliti dari The World Bank untuk penanganan korupsi tingkat daerah, melaporkan temuannya bahwa ada 967 anggota DPRD dan 61 Kepala Daerah yang tercatat di 29 Kejaksaan Tinggi di Indonesia yang terlibat kasus korupsi (Kapanlagi.com, 30-5 2007).

 

Kasus korupsi yang dikatakan sudah membudaya telah mengantarkan Negeri ini, menduduki peringkat kedua pada tahun 2007 dan peringkat pertama pada tahun 2005 sebagai Negara terkorup di Asia (Kapanlagi.com, Minggu 17 Juni 2007). Perilaku korupsi menyangkut oknum-oknum dari beragai institusi, mulai dari DPR-RI, DPRD, aparat pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai perangkat desa serta institusi swasta dan masyarakat biasa dari berbagai latar belakang dan profesi. Bahkan oknum dari institusi yang berurusan dengan masalah keagamaanpun juga mau melakukan tindak korupsi. Seperti yang dituduhkan terhadap oknum pengurus sebuah Tempat Ibadah di Tuban yang diduga menggelapkan dana umat sebesar Rp. 601.000.000,- (Jawa Pos, Minggu 20 April 20008). Yang paling membuat gerah berbagai pihak adalah perilaku korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat dari institusi penegak hukum yang seharusnya memiliki tugas dan tanggung jawab  untuk memberantas korupsi seperti: polisi, hakim dan jaksa.

 

Yang kelihatan agak fenomenal adalah penangkapan tim KPK terhadap oknum Kejaksaan Agung dalam kasus penyuapan yang berkaitan dengan penghentian penyelidikan kasus pengemplang BLBI yang telah merugikan Negara sebesar 146 triliun rupiah, dua hari sebelumnya. Di mana konon beritanya yang bersangkutan adalah jaksa terbaik yang nyaris tanpa cacat. Kasus ini adalah sebagian saja dari kasus tindak pidana korupsi  yang terungkap, baik yang masih dalam penyidikan maupun yang sudah diproses dan telah diputus oleh pengadilan. Perilaku korupsi ibarat fenomena gunung es di tengah lautan; yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari gunung yang sebenarnya. Sebagian besar yang tidak nampak, ada di bawah air sampai ke dasar lautan. Kasus korupsi yang terungkap atau terangkat kepermukaan selama ini, rupanya hanya  sebagian kecil saja dari keseluruhan kasus, yang sebagian besar masih misteri.

 

Kenapa tindak korupsi terus berlangsung. Pada hal pemberantasan korupasi sampai saat ini masih menjadi prioritas utama agenda program kerja Presiden SBY (Kapanlagi.com, Senin, 11 Juni, 2007). Hal ini dapat diphami melalui fomula munculnya perilaku sebagai berikut: TL =  D x K x B x I (Tingkah Laku, sama dengan Dorongan, kali Kesempatan, kali  ke-Biasaan, dan kali Insentif). Maksudnya adalah: perilaku korupsi itu muncul, apabila ada dorongan untuk mendapatkan sesuatu yang akan dikorupsi, lalu ada kesempatan untuk melakukan. Kesempatan yang datang berkali-kali akan membentuk kebiasaan. Korupsi akan terus dilakukan apalagi memberikan insentif yang menyenangkan.

 

Sebetulnya perilaku korupsi sama halnya dengan perilaku-perilaku yang lain, seperti penggelapan, mencuri jemuran, mencuri ayam, menodong, merampok, menggarong dan sebagainya, semua itu adalah perilaku mengambil harta benda yang bukan haknya, atau mengambil harta benda dengan cara melanggar hukum. Kenapa orang mencuri ayam atau merambah jemuran. Jawabannya tentu karena kemiskinan, dan terdesak oleh kebutuhan ekomi. Jawaban tadi tentunya ada benarnya. Tetapi kenapa  sebagian dari pelaku justru kondisi ekonominya baik. Bahkan para koruptor itu, baik yang dari kalangan wakil rakyat dan pejabat pemerintah, apalagi mereka para pengemplang BLBI, mereka  itu memliliki kakayaan yang berlebih, milyaran bahkan trilyunan. Pencuri jemuran, maling ayam dan pencuri sekelasnya, terpaksa melakukan itu karena kebutuhan dasar yang sangat mendesak, itu bisa dimaklumi. Tetapi itu personal dan sifatnya kasuistik saja, karena banyak orang yang terhimpit oleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang mendesak, dapat mengendalikan diri untuk tidak mencuri; apalagi mereka yang berkecukupan.

 

Rupanya penyebab utama munculnya perilaku berbagai macam tindak kejahaatan,  termasuk tindak korupsi adalah kondisi internal dari individu yang bersangkutan, yaitu rendahnya moralitas yang mereka miliki. Orang yang memiliki moralitas tinggi, dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, hati nuraninya akan menolak atau berontak, apabila dalam dirinya muncul keinginan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan aturan-aturan atau hukum yang berlaku. Untuk mengatasi berbagai tindak kejahatan khususnya perilaku korupsi saat ini dan di masa yang akan datang, ada dua upaya yang dapat dilakukan, yaitu upaya preventif dan upaya korektif, di antaranya melalui pendidikan, pengawasan, dan  penegakan hukum secara tegas.

 

Pendidikan Moral dalam Keluarga

 

Pembentukan moral anak bangsa merupakan salah satu upaya preventif dalam rangka pencegahan tindak korupsi di masa yang akan datang. Berbicara tentang moral, dunia pendidikan adalah harapan kita yang paling urgen untuk membentuk pribadi yang utuh yang bermoral terutama pendidikan dalam keluarga. Moral adalah bagian dari sistem kepribadian. Dalam teori psikologi, sistem kepribadian manusia, terdiri dari tiga struktur yaitu Id sebagai aspek fisiologis, Ego sebagai aspek psikologis, dan Super Ego sebagai aspek moral dan sosial (Freud).

 

Super Ego terdiri dari dua komponen, yaitu Ego Ideal dan Hati Nurani. Ego Ideal ini bertugas untuk memberikan arahan, petunjuk, bimbingan bagi peribadi agar yang bersangkutan selalu berperilaku yang ideal, dalam arti sesuai dengan nilai-nilai moral, sesuai dengan norma-norma hukum, norma agama dan norma sosial. Selain itu, Ego Ideal ini bertugas memberikan hadiah kepada peribadi apabila telah melakukan perbuatan yang ideal tadi. Bentuk hadiahnya adalah rasa senang, puas, dan bahagia secara psikologis.

 

Sebaliknya Hati Nurani bertugas meanghambat, melarang atau merintangi apabila peribadi berniat melakukan tindakan yang tiak ideal, melanggar hukum, melanggar norma agama dan masyarakat serta berbagai tindak kejahatan seperti tindak korupsi yang sedang kita persoalkan saat ini. Hati Nurani juga bertugas untuk memberikan hukuman bagi peribadi apabila sudah terlanjur melakukan perbuatan tidak bermoral, atau melanggar norma-norma yang berlaku. Bentuk hukumannya, adalah berupa penyesalan diri dan  pertobatan.

 

Fondasi dasar dari Super Ego (Ego Ideal dan Hati Nurani) ini, mulai terbentuk sejak anak berusia tiga sampai dengan tujuh tahun, di mana fase perkembangan usia ini dikenal dengan masa Falik. Sedangkan fase selanjutnya adalah berfungsi untuk memperhalus dan mengembangkan saja. Ego Ideal terbentuk melalui identifikasi (peniruan) anak terhadap tingkah laku orang tuanya. Sedangkan Hati Nurani terbentuk melalui teguran, sangsi atau hukuman yang diterima dari orang tua, atas perbuatan yang dianggap salah yang dialami anak. Di sini jelas pembentukan fondasi moral anak dimulai dalam keluarga; dan itu semua adalah tanggung jawab orang tua.

 

Kurikululum Pendidikan Moral di Sekolah

 

Selain keluarga, sekolah juga memiliki tangung jawab yang tidak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan perkembangan berbagai aspek kepribadian, termasuk moral  moral anak. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa fondasi moral anak terbentuk pada usia falik  yaitu sekitar 3 sampai 7 tahun, dan masa selanjutnya yang dikenal dengan fase laten (7–12 tahun)   serta fase genital/adolescence (atau masa remaja) berfungsi untuk mengembangkan dan memperhalus saja.

 

Fase laten ini, adalah masa anak masuk sekolah khususnya sekolah dasar.   Pada masa ini sebagian dari waktu anak berada di lingkungan sekolah, tetapi secara emosional mereka masih memiliki kelekatan dengan orang tua. Berbeda dengan anak pada fase laten anak remaja atau anak yang ada pada fase genital, secara emosional, kelekatan dengan orang tuanya sudah mulai merenggang dan mereka mulai menggunakan waktu lebih banyak bersama teman-teman sebayanya. Di sekolah, mereka berinteraksi dengan para guru, teman-teman seusianya, berinteraksi dengan perturan-peraturan sekolah, dan materi pelajaran yang mungkin tidak mereka temukan di lingkungan keluarga.

 

Alat pembelajaran yang paling utama di sekolah, adalah kurikulum dengan berbagai macam materi ajar, termasuk yang secara eksplisit menunjuk kata moral, seperti Pendidikan Moral Pancasila (sudah tidak ada). dan mata pelajaran agama (sekalipun tidak langsung menunujuk kata moral). Selain itu ada alat pembelajaran ekstra kurikuler, misalnya organisasi intra sekolah, kegiatatn  out of bonds, karya wisata, olah raga dan kesenian serta kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan pembelajaran anak untuk memberikan layanan sosial, seperti PMI, kunjungan ke panti asuhan, panti jompo, lembaga kemasyarakatan dan sebagainya.

 

Pertanyaannya di sini masih perlukah ada kurikulum khusus untuk pembentukan moral. Sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Y.M.E. Sebetulnya dalam kata seutuhnya, sudah tercakup masalah moral. Juga dalam kata takwa kepada Tuhan Y.M.E; sudah implisit aspek moral di dalamnya. Oleh karena seharusnya semua semua aktivitas di sekolah baik yang intra kurikuler maupun yang ekstra, dapat diberi sentuhan-sentuhan dengan muatan  moral, sekalipun tidak secara eksplisit  menunjuk kata moral. Misalnya, bagaimana memberikan sentuhan moral dalam mata pelajaran matematika dan mata pelajaran yang lain yang kelihatannya jauh dari kata moral. Dalam hal ini tetentunya kemampuan (kompetensi) dari para guru sangat dibutuhkan.

 

Di sekolah, guru begitu sentral peranannya dalam membentuk kepribadian yang utuh bagi para siswanya. Guru tidak hanya bertugas memberikan pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi lebih dari itu yaitu transfer of learning, atau memberikan pelajaran dalam arti luas bagi siswanya. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan kurikulum eksplisit; tetapi juga menjadi model bagi siswanya. Guru adalah model yang digugu dan ditiru. Tindakan guru yang bermoral akan ditiru oleh muridnya dengan perilaku moral juga. Jadi di sekolah kiranya tidak begitu diperlukan kurikulum eksplisit, tetapi cukup implisit saja. Artinya, semua kurikulum yang ada, diarahkan untuk membentuk kperibadian anak menjadi manusia Indonesia seutuhnya (cerdas dan bertakwa kepada Y.M.E yang di dalamnya sudah ada muatan moral). Ini lagi-lagi menuntut kompetensi guru, yang tidak hanya dituntut untuk memilik kompetensi akademik yang baik, tetapi juga memiliki kompetensi kepribadian yang baik pula.

 

Untuk anak sekolah yang berada pada usia remaja, di mana mereka sudah mulai menggunakan lebih banyak waktunya bersama teman-teman sebayanya, perlu diberikan wadah untuk aktivitas yang positif, misalnya Pramuka, Karang Taruna, Remaja Masjid dan lain-lain. Dengan adanya wadah  tersebut, pihak sekolah, orang tua dan masyarakat dapat mengarahkan dan mengontrol agar supaya aktivitas yang dilakukan remaja di luar rumah dan sekolah tidak mengarah pada hal-hal yang negatif, yang dapat memengaruhi perkembangan moral mereka.

 

Peranan Pemerintah

 

Pemerintah berserta komponen-komponennya, bersama masyarakat, bertanggung jawab terhadap pengatasan berbagai tindak kejahatan, termasuk korupsi, dengan beberapa uapaya yang dapat dilakukan.  Pertama adalah  upaya pengentasan kemiskinan, perlakuan yang adil untuk semua lapisan masyarakat, agar mereka tidak mencuri jemuran, mencuri ayam dan sekelasnya.  Kedua, penegakan hukum yang tegas,  konsisten dan terbuka. Dalam hal ini  para aparat yang bertanggung jawab, hendaknya tidak jemu-jemu untuk mengungkap kasus korupsi dan menangkap para pelakunya, kemudian memprosesnya sampai tuntas, dengan sangsi yang optimal. Dalam peroses hukum sampai proses eksekusinya, sedapat mungkin harus dilakukan secara terbuka, sehingga masayarakat dapat mengakses informasi setiap proses tersebut dalam setiap kebutuhan dan  kesempatan. Keempat, adanya  pengawasan yang intens terhadap perilaku aparat,  sehingga tidak ada ruang bagi mereka untuk melakukan korupsi. Kelima, diciptakannya sistem birokrasi yang baik dan terbuka. Karena ini juga akan mempersempit ruang gerak mereka yang mau malakukan korupsi. Keenam, yang tidak kalah penting adalah perilaku modelling, yaitu contoh dari para orang-orang terpandang seperti pemuka masyarakat, baik dari kalangan agamawan, tokoh politik, aparat pemerintah terutama para penegak hukumnya agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum.

 

Penutup

 

Negeri kita tercinta ini, selalu  masuk rangking teratas sebagai negara terkorup di Asia. Kasus tindak korupsi yang dikatakan telah mebudaya di negeri ini, dilakukan oleh hampir semua kalangan masyarakat yang memiliki kesempatan. Mulai dari oknum institusi pemerintah dan swasta, wakil rakyat, bahkan oknun penegak hukum dan mayarakat biasa.

 

Tindak korupsi, adalah sebagian di antara perilaku tindak pidana yang lain, seperti pencurian, perampokan dan sebagainya, adalah perilaku mengambil harta yang bukan haknya dengan cara tidak sah atau melanggar hukum. Hal itu terjadi karena kebutuhan yang mendesak, adanya kesempatan, tidak adanya kontrol moral dan sosial, serta lemahnya penegakan hukum. Tetapi yang sangat menentukan adalah lemahnya kontrol moral dari dalam diri para pelaku sendiri.

 

Solusi yang dapat dilakukan adalah tindakan preventif dan korektif. Tindakan preventif untuk jangka panjang (generasi yang akan datang), yaitu melalui pendidikan, baik dalam keluarga maupun di  sekolah. Tindakan preventif yang bisa dilakukan saat ini, yaitu mengatasi kemiskinan, mempersempit ruang gerak atau kesempatan orang untuk melakukan korupsi dengan pengawasan yang ketat, memperbaiki sistem birokrasi yang belum baik dan adanya keterbukaan.

 

Tindakan korektif yang harus dilakukan adalah penegakan hukum yang tegas, terutama bagi para koruptor tanpa pandang bulu, dengan perangkat hukum yang ada, serta  memberikan akses seluas-luasnya kepada berbagai pihak untuk mendapatkan informasi mengenai proses hukum terhadap para koruptor tadi. Dalam rangka penegakan hukum, khususnya bagi para koruptor, supaya dihindari campur tangan politik, yang kemungkinannya akan mengaburkan masalah yang menjadi persoalan hukum.

 

Atas dasar upaya-upaya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas tadi, kita dapat berharap secepat mungkin dapat menurunkan rangking label negara terkorup di antara negara lain, dan secepatnya pula membersihkan tindak korupsi dari negeri tercinta ini.

 

_______________

Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional: Menanamkan Pendidikan Anti Korupsi Sejak Dini Dalam Sistem Pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Pendidikan dan Sosial (LPKS), Minggu 17 April 2008, di Pamekasan.

Artikel Terkait

Belum Ada Komentar

Isi Komentar