HUBUNGAN ANTARA METAKOGNISI DAN MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN KREATIVITAS

Jurnal Persona, Volume 1 Nomor 01, Juni 2012

 

 

 

HUBUNGAN ANTARA METAKOGNISI DAN MOTIVASI BERPRESTASI

DENGAN KREATIVITAS

 

Kuntjojo

Universitas Nusantara PGRI Kediri

Andik Matulessy

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya


  Abstract, The research was conducted to find out the relationship between the metacognition and the achievement motivation and the creativity. The subject of the research was the first semester students of Counseling Department academic year 2011/2012 Nusantara PGRI University Kediri. The instrument used was the creativity scale, the metacognition scale, and the achievement motivation scale. The result of the research showed that metacognition and achievement motivation was significantly associated with the creativity shown by the calculated F value 63,084 and the significance of 0,000 (<0,05). The result of determination is 0,508. It means that 50,8 % independent variables (metacognition and achievement motivation) gave contribution to dependent variable (creativity). The result of partial correlation analysis showed that there is a very significant relationship between metacognition and creativity. There is a very significant positive relationship between achievement motivation and creativity.

Keywords : creativity, metacognition, and achievement motivation

 

Intisari, Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas mahasiswa. Subjek penelitian adalah 125 mahasiswa Semester I 2011/2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri. Instrumen yang dipergunakan adalah skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berpestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metakognisi dan motivasi berprestasi secara bersama-sama berhubungan positif sangat signifikan dengan kreativitas yang ditunjukkan dengan nilai F hitung sebesar 63,084 dan signifikansi 0,000 (< 0,05).  Hasil analisi regresi menunjukkkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,508. Artinya prosentase sumbangan pengaruh variabel bebas (metakognisi dan motivasi berprestasi) secara bersama terhadap variabel kreativitas sebesar 50,8 %. Hasil analsis korelasi secara parsial menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang  sangat signifikan antara metakognisi dengan kreativitas, ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas.

Kata kunci: kreativitas, metakognisi, motivasi berprestasi, mahasiswa

 

 

Perkembangan seni, ilmu, dan teknologi saat ini luar biasa pesat. Berbagai karya seni, apakah seni rupa, seni suara, musik, tari, dan seterusnya dihasilkan dan sebagian telah dinyatakan sebagai  karya  monumental. Dalam bidang ilmu telah dikembangkan berbagai ilmu dasar dan juga ilmu terapan yang memberikan kontribusi besar bagi kehidupan.  Dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi telah dihasilkan berbagai perangkat  yang kemudian menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia, misalnya saja komputer, handphone, pc tablet, e-mail, web browser seperti google, yahoo, dst., situs-situs jejaring sosial semacam facebook dan tweeter, dan sebaginya. Temuan-temuan berupa karya yang luar biasa tersebut merupakan hasil dari figur-figur yang memiliki kreativitas  yang tinggi. 

Kreativitas merupakan kemampuan intelektual yang sangat penting karena dengan kreativitasnya manusia mampu memecahkan berbagai masalah dan menciptakan berbagai hal seperti konsep, teori, perangkat teknologi, dan seterusnya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan sehingga kreativitas dinyatakan sebagai kunci untuk meraih sukses dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat saat ini.  Proses mengambil keputusan,  pemecahan masalah, merekrut, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia adalah contoh-contoh realitas yang membutuhkan solusi kreatif. 

Pentingnya fungsi adaptif  kreativitas dipertegas pula oleh Munandar (2007) dengan pernyataanya,  bahwa hidup dalam suatu masa di mana ilmu pengetahuan berkembangan dengan pesatnya untuk digunakan secara konstruktif maupun destruktif, suatu adaptasi kreatif merupakan satu-satunya kemungkinan bagi suatu bangsa yang sedang berkembang untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dan untuk dapat menghadapi problema-problema yang semakin kompleks. Kreativitas merupakan faktor yang sangat menentukan untuk meraih sukses masa depan.  Hasil penelitian yang dilakukan oleh IBM Global CEO pada tahun 2010 dengan mensurvai 1500 pejabat eksekutif kepala dari 60 negara dan 33 industri di seluruh dunia, bahwa disiplin manajemen, integritas, atau bahkan visi keberhasilan mengarahkan dunia yang semakin kompleks pada peningkatkan membutuhkan kreativitas (Naiman, 2010:  http://www.creativityatwork. Com /articles Content/ whatis .htm.).

Belajar untuk menjadi kreatif mirip dengan belajar berolahraga, yaitu membutuhkan adanya potensi, lingkungan yang kondusif, dan latihan terus menerus. Dalam jurnal Creativity Research Journal, Fasko (2001) menyatakan bahwa teknik mengajar yang menstimuli baik pemikiran konvergen maupun divergen merupakan proses yang penting untuk merangsang pemikiran kreatif dan lebih menantang untuk peserta didik yang kreatif.

Usaha pengembangan kreativitas peserta didik, termasuk mahasiswa, merupakan kebutuhan mengingat pentingnya peranan kreativitas pada satu sisi belum berkembangnya kreativitas mahasiswa secara optimal. Gejala-gejala yang menunjukkan adanya masalah dalam perkembangan kreativitas diantaranya:  mahasiswa merasa keberatan dan cenderung menolak jika diberi tugas yang menantang,  ragu-ragu untuk mencoba sesuatu yang  baru, mengambil karya orang lain dan diakui sebagai karyanya jika diberi tugas menulis makalah atau artikel, ketika mengajukan judul skripsi ada kecenderungan mengulang judul-judul yang sudah ada, ketika dalam mengikuti perkuliahan ada materi yang tidak dipahami tidak mau bertanya padahal sudah diberi kesempatan dan dimotivasi untuk bertanya, serta rasa ingin tahu akan sesuatu kurang.

Belum berkembanganya secara optimal kreativitas mahasiswa dapat dikaji berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah metakognisi dan motivasi berprestasi.  Lemahnya kemampuan  kognisi, terutama metakognisi menyebabkan mahasiswa lemah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, memilih dan menerapkan strategi berpikir. Sebagaimana dinyatakan oleh Fasko (2000), bahwa beberapa aspek metakognisi yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural memberikan pengaruh pada kreativitas. Pengetahuan deklaratif memberikan pengaruh dalam hal informasi-informasi yang faktual  untuk berpikir secara kreatif dan pengetahuan prosedural menjadi pedoman untuk strategi berpikir.

 

Penelitian tentang Kreativitas, metakognisi, dan Motivasi Berprestasi

Ada beberapa penelitian tentang kreativitas diantaranya yang dilakukan oleh DeCharm dan Moeler, Hakim, dan Suharnan. DeCharm dan Moeler serta Hakim pernah meneliti hubungan  motivasi berprestasi dengan kreativitas. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kreativitas (Suharnan, 2011). Suharnan pada tahun 1998 melakukan penelitian tentang kreativitas dalam hubungannya dengan motivasi intrinsik-ekstrinsik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi intrinsik berperan penting di dalam proses-proses kreatif (Suharnan, 2011). 

Penelitian tentang metakognisi sejauh yang diketahui penulis belum sebanyak penelitian tentang kreativitas dan motivasi berprestasi. Peneliti yang telah melakukan penelitian dengan mengambil metakognisi sebagai variabel bebas antara lain  Coutinho (2006 dan 2007), Lee dan Bergin (2009), Rahman dan Masrur (2011).

Coutinho (2006) melakukan penelitian dengan judul The Relationship between the Need for Cognition, Metacognition, and Intellectual Task Performance dengan responden 417 mahasiswa Northern Illionis University. Variabel need for cognition diukur menggunakan the 18-item need for cognition scale, variabel metakognisi diukur menggunakan the 34-item trait metacognitive inventory sedangkan untuk mengukur variable task performance dipakai problem solved GRE analytical items.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara variable need for cognition dengan task performance dan tidak ada korelasi antara metacogniton dengan task performance.   Kemudian pada tahun 2007 Coutinho melakukan penelitian lagi tentang metakognisi namun dalam hubungan dengan variable lainnya, pencapaian tujuan (achievement goals) dan keberhasilan akademik (academic success).  Subjek yang diteliti  adalah  179  mahasiswa Midwestern University, Amerika Serikat. Instumen penelitian  yang  mereka  pakai  untuk mengukur variabel achievement goals adalah 25-item Goals Inventory sedangkan untuk mengungkap metakognisi mereka menggunakan the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama,  terdapat hubungan positif achievement goals dengan metacognition, kedua, ada hubungan positif metacognition dengan academic success (Coutinho, 2007). 

Lee dan Bergin (2009) melakukan penelitian tentang penggunaan metakognisi oleh anak-anak dalam pemecahan masalah sehari-hari. Subjek yang diteliti adalah murid sekolah dasar kelas V di wilayah Asia Fasifik. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variable adalah 25 item yang diseleksi dari 52-item metacognitive awareness inventori dari Schraw dan Dennison. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan penggunaan metakognisi dengan pemecahan masalah sehari-hari. 

Penelitian lain tentang metakognisi dilakukan oleh Rahman dan Masrur. Mereka telah melakukan survai dengan judul Is Metacognition a Single Variabel?  Subjek yang mereka teliti 200 pelajar yang berusia 15 – 16 tahun. Instumen penelitian yang mereka pakai untuk mengukur variabel metakognisi adalah the 52-item Metacognitive Awareness Inventory dari Schraw dan Dennison.Hasil penelitian menyatakan bahwa metakognisi bukan merupakan variabel tunggal melainkan variabel jamak. Mereka selanjutnya merekomendasikan bahwa diperlukan penelitian  untuk mengidentifikasi karakteristik metakognisi pada pelajar (Rahman dan Masrur, 2011).

Penelitian tentang motivasi berprestasi sudah banyak dilakukan dan kebanyakan menempatkan variabel ini sebagai variabel tergantung. Ada 3 penelitian tentang motivasi berprestasi yang dipaparkan pada uraian berikut, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zenzen (2002), Garliah dan Nasution (2005), dan Chaturvedi (2009).

Zenzen pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk memperoleh gelar Master of Science Degree dengan judul Achievemen Motivation. Subjek penelitian adalah murid program Industrial Technology Kellogg Middle School, Minnesota. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa tidak ada hubungan motivasi berprestasi  dengan performansi siswa (students performance) (Zenzen, 2002).

Garliah dan Nasution pada tahun 2005 melakukan penelitian dengan judul Peran Pola Asuh Orangtua dalam Motivasi Berprestasi dengan subjek 100 mahasiswa Universitas Sumatra Utara. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi mahasiswa pada berbagai bentuk pola asuh orang tua (Garliah dan Nasution, 2005).

Chaturvedi pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang motivasi berprestasi dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah dan pencapaian akademik (academic achievement) 300 pelajar di Bhopal, India. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan lingkungan sekolah dengan motivasi berprestasi dan pencapaian academik (Chaturvedi, 2009).

Berdasarkan paparan di atas dapat dinyatakan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas. Persamaannya adalah, kreativitas diteliti dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi. Adapun perbedaannya adalah dalam penelitian ini kreativitas akan diteliti dalam hubungannya dengan metakognisi dan motivasi berprestasi. Perbedaan juga terjadi dalam hal subjek yang diteliti serta skala untuk mengukur variabel penelitian. Subjek penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri dan skala yang dipergunakan untuk mengukur variabel adalah skala kreativitas yang diadopsi dari skala C.O.R.E., skala metakognisi  dan skala motivasi berprestasi yang dikembangkan oleh peneliti. 

Penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat,  baik bagi pengembangan ilmu, khususnya psikologi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan temuan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian teoritis tentang kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna, yang dapat dijadikan acuan  bagi upaya pengembangan kreativitas, metakognisi, dan motivasi berprestasi peserta didik, khususnya mahasiswa.

 

Tinjauan Pustaka

Kreativitas

Menurut Sternberg (2008), kreativitas sebagai proses memproduksi sesuatu yang orisinal dan bernilai. Solso dkk. (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya).

Suharnan (2011), setelah mengkaji berbagai pendapat dari para ahli tentang kreativitas selanjunya menyatakan bahwa kreativitas sering disebut berpikir kreatif (creative thinking), berpikir inovatif (innovative thinking), jika dikaitkan dengan kemampuan seseorang, kreativitas sebagai daya cipta, dan dalam konteks pemecahan masalah, kreativitas juga dapat disebut sebagai kecerdasan kreatif atau creative intelligence.  Selanjutnya Suharnan (2011) mengidentifikasi  substansi kreativitas,  yang   disebutnya  sebagai bagian pokok dari definisi kreativitas, yaitu: proses berpikir,  menemukan,  baru atau orisinal, dan berguna atau bernilai. Karakteristik pokok kreativitas, menurut European University Association (EUA) (2007), khususnya  untuk  konteks   pendidikan  tinggi    adalah:  originality,   appropriateness,   future orientationproblem-solving ability.

Berkenaan dengan karakteristik pribadi yang kreatif, Ormrod (2009) menyatakan bahwa individu yang kreatif memiliki karakteristik : menafsirkan masalah dan situasi secara fleksibel,  memiliki banyak informasi yang relevan dengan suatu tugas, mengombinasikan informasi dan ide-ide yang ada dengan cara-cara yang baru,   mengevaluasi pencapaian diri menurut standar yang tinggi, dan memiliki gairah dan karenanya menginvestasikan banyak waktu dan usaha dalam apa saja yang sedang mereka kerjakan.

Setelah melakukan pengkajian pendapat para ahli tentang karakteristik pribadi yang kreatif, Suharnan (2011), menyatakan bahwa secara umum karakteristik penting dari pribadi yang kreatif adalah: kebebasan, imajinasi, kecerdasan (ketajaman pandangan), rasa ingin tahu yang tinggi, mencintai pekerjaan, ketahannan fisik dan mental dalam bekerja, ambisi, dan toleran terhadap resiko (gagal). 

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission (2009),dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu: faktor genetis atau faktor bawaan; faktor personality (kepribadian) yang meliputi intelligence, motivation, divergent thinking, cultural dan capital; faktor Psycho-analysis (unconscious atau faktor ketidak sadaran); konteks di mana seseorang berada yang meliputi : policies, education/knowledge,  cultural/social environment, constraints/references, working environment, dan  geography/location; proses manajemen, yang meliputi: collaboration, system of relationship, dan organization;    faktor kognitif, mencakup process to create thoughts dan technical skills.

Membahas faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas juga dapat didasarkan pada teori investasi (The investment Theory of Creativity) yang dikembangkan oleh Sternber dan Lubart. According to the investment theory, creativity requires a confluence of six distinct but interrelated resources: intellectual abilities, knowledge, styles of thinking, personality, motivation, and environment (Sternberg, 2006).  

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut Suharnan (2011) tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau intelektual. Pengaruh kemampuan kognitif terhadap kreativitas juga dipertegas oleh Reed (2009) bahwa kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan, fleksibilitas kognitif, dan penilaian kesesuaian yang biasanya berasal dari korteks prefrontal.

Kreativitas seseorang, menurut Directorate-General for Education an Culture, the European Commission, sebagimana divisualisasikan dalam bentuk bagan diatas  dipengaruhi pula oleh motivasi.  Membahas hubungan motivasi dengan kreativitas, Woolfolk (2009) menyatakan bahwa motivasi, persistensi, dan dukungan sosial juga berperan penting dalam proses kreatif.   Motivasi berprestasi yang merupakan salah satu jenis motivasi,  menurut hasil penelitian DeCharms dan Muller serta hasil penelitian Hakim (Suharnan, 2011),  berkorelasi positif secara signifikan dengan kreativitas. Hubungan motivasi dengan kreativitas juga sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sternberg.  Menurut Strenberg (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu.

 

Metakognisi

Livingstone (1997) mendefinisikan metakognisi sebagai thinking about thinking. Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di mana yang menjadi objek berpikirnya adalah  proses berpikir yang terjadi pada diri sendiri. Sementara itu Margaret W. Matlin (1998) dalam bukunya yang diberi judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge, awareness, and control of our cognitive process”. Papaleontiou-Louca (2008), setelah menelaah beberapa definisi metakognisi selanjutnya menyatakan : ‘Metacognition’ refers to all processes about cognition, such as sensing something about one’s own thinking, thinking about one’s thinking and responding to one’s own thinking by monitoring and regulating it.

Flavell (dalam Livingstone, 1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu  pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan  pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation). Kedua komponen metakognisi, yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen-sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (Lee dan Bergin, 2009  dan Woolfolk,  2009).

1)   Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition), yang terdiri dari sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut : a) declarative knowledge, b) procedural knowledge, dan c) conditional knowledge.

2)   Regulasi tentang kognisi (regulation about cognition), yang terdiri dari  sub kemampuan-sub kemampuan sebagai berikut: a) planning (perencanaan), b) monitoring (pemantauan), dan c) evaluation (evaluasi).

Declarative knowledge, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar dan memecahkan masalah.  Procedural knowledge, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan  apa saja yang telah diketahui dalam declarative  knowledge tersebut dalam aktivitas belajar atau menyelesaikan suatu tugas. Conditional knowledge, adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.

Planning, adalah kemampuan memutuskan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas, strategi mana yang akan digunakan, bagaimana memulainya, sumber daya apa yang akan digunakan, urutan apa yang akan diikuti dan apa yang perlu diberi perhatian, dan sebagainya (Woolfolk, 2009). Monitoring,  merupakan real – time  awareness tentang bagaimana saya bekerja (Woolfolk, 2009).  Evaluation, adalah kemampuan membuat judgement tentang proses dan hasil berpikir dan belajar (Woolfolk, 2009).

Metakognisi berperan penting dalam pemecahan masalah. Menurut Gardner dan Karmiloff-Smith, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Lee dan Bergin (2009), metakognisi merupakan dimensi penting dari pemecahan masalah karena kemampuan tersebut mencakup kesadaran akan masalah yang relevan dengan yang dipikirkan, pemantauan terhadap proses kognitif serta penerapan strategi yang tepat.

 

Motivasi Berprestasi

Konsep tentang motivasi berprestasi menjadi terkenal stelah McClelland mengemukakan hasil pemikirannya tentang kebutuhan untuk berprestasi (need of achievement), yang sering disingkat dengan n-Aach. Menurut Klose (2008), motivasi berprestasi,  khususnya pada peserta  didik, terdiri dari komponen-komponen:   social  comparison,    ability   and  effort,  reward salience, dan  task preference. Dengan  perbandingan sosial (social comparison), orientasi motivasi yang  positif akan diwakili oleh keyakinan bahwa perkembangan pribadi dan penguasaan terhadap suatu tugas atau pekerjaan lebih penting daripada membandingkan kinerja seseorang kepada orang lain. Kemampuan dan usaha (ability and effort) berhubungan erat. Prestasi dapat dicapai jika ada usaha untuk mencapainya dan usaha tersebut harus didukung oleh adanya kemampuan. Arti penting suatu hadiah (reward salience) adalah orientasi prestasi yang mencerminkan keyakinan siswa tentang perhargaan dari kelas dan sekolahnya.

Komponen-komponen  motivasi berprestasi, berdasarkan  A Tripartite Model of Motivation for Achievement  yang dikembangkan oleh Tuckman (1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99paper.htm),  terdiri dari tiga variabel generik, yaitu 1) attitude (sikap), 2) drive (dorongan), dan  3) strategy  (startegi).

1)  Attitude

Berdasarkan model tripartite, sikap yang dimaksud dalam dalam hubungannya dengan motivasi berprestasi adalah self-efficacy, atau bagaimana keyakinan seseorang akan kemampuannya sendiri. Ada bukti yang cukup untuk mendukung pendapat bahwa self-efficacy berkontribusi pada dicapainya prestasi akademik (Tuckman,1999: http://dennislearningcenter. osu. edu/all-tour/apa99paper .htm).

2)  Drive

Keyakinan bahwa ada kemampuan untuk  melakukan suatu saja masih belum cukup untuk bisa mencapai keberhasilan.  Diperlukan energi agar keyakinan tersebut berkembang menjadi suatu tindakan.  Dalam konteks inilah drive (dorongan) diperlukan. Tanpa dorongan yang kuat seseorang enggan untuk berbuat, takut menghadapi tantangan persaingan, dan mudah putus asa.

3)  Strategy

Strategi dibutuhkan berkenaan dengan usaha melakukan tindakan yang efektif.  Tanpa strategi tidak ada acuan untuk membantu memilih dan membimbing tindakan yang diperlukan. Dengan adanya strategi selain percaya pada kemampuan sendiri, dan memiliki keinginan untuk mencapai hasil tertentu,  mampu melaksanakan strategi tertentu dapat mencapai  sukses dalam berbagai bidang, misalnya penulis, atlet, musisi, dan seterusnya (Tuckman,  1999: http://dennislearningcenter.osu.edu/all-tour/apa99-paper. htm.).

Motivasi berprestasi, khususnya pada pelajar atau mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik  internal maupun eksternal, sebagaimana pernyataan  Klose (2008) berikut: “Several internal and external factors contribute to a student’s motivational in the classroom,  these include recognizing the relationship between effort and ability, understanding the classroom reward structures, balancing academic mastery and social competence, and choosing tasks of appropriate difficulty”  

 

Dasar Teori

Berdasarkan pendapat tentang kreativitas dari beberapa ahli sebagaimana dipaparkan dalam tinjauan pustaka dapat dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan unik serta berdaya guna. Dan apa yang ditemukan melalui proses kreatif merupakan sesuatu yang memiliki nilai.

Kreativitas seseorang berdasarkan pendapat para ahli dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:   faktor-faktor yang pembawaan;   faktor-faktor kepribadian yang di dalamnya terdapat kecerdasan, motivasi,  kemampuan berpikir divergen, dan sebagainya;  faktor-faktor yang bersumber dari ketidak sadaran; faktor-faktor kontekstual seperti lingkungan sosial, kebijakan suatu lembaga, letak geografis, dan seterusnya;  faktor-faktor proses manajemen mencakup kerjasama, sistem  hubungan sosial, dan organisasi;   faktor-faktor kognitif diantaranya proses untuk menciptakan pikiran-pikiran dan keterampilan teknis.

Bahwa setiap individu memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan. Pengembangan potensi kreatif individu mestinya dilakukan sejak usia dini. Pengembangan kreativitas dapat dilakukan berdasarkan model C.O.R.E. sebagai kerangka kerja dan sasaran pengembangan, yang meliputi : Curiousity (rasa ingin tahu), Openness to experiences (terbuka pada pengalaman), Risk tolerance (berani menghadapi resiko) dan Energy (energi fisik dan mental).

Kreativitas  sebagaimana digambarkan dinyatakan oleh para ahli,  dipengaruhi oleh faktor kognitif, diantaranya adalah  process to create thoughts.  Keberhasilan proses-proses kreatif, membutuhkan keterlibatan kemampuan kognitif.  Kreativitas membutuhkan kemampuan kognitif, seperti kontrol yang efektif dari memori kerja, perhatian berkelanjutan,  dan fleksibilitas kognitif. Salah satu kemampuan kognitif yang memberikan kontribusi pada kreativitas adalah metakognisi.

Keberhasilan proses-proses kreatif, menurut para ahli tidak akan terlepas dari keterlibatan kemampuan kognitif, yang sering disebut sebagai kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual. Dan salah satu kemampuan kognitif  tingkat tinggi yang memberikan kontribusi terhadap lahirnya karya-karya kreatif adalah metakognisi. Metakognisi antara lain terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan pemikiran kreatif dengan hanya memberikan informasi faktual. Pengetahuan prosedural menyediakan ketentuan-ketentuan  untuk berpikir strategis.

Berdasarkan pendapat para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas seseorang, diantaranya adalah motivasi yang sangat tinggi untuk menjadi kreatif di bidang tertentu. Orang yang memiliki motivasi berprestasi menurut    A Tripartite Model of Motivation for Achievement, dapat dikenali dari 3 aspek, yaitu:  attitude (sikap) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep sef-efficacy,   drive (dorongan) yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep incentive value, dan strategy (strategi)  yang dioperasionalisasikan ke dalam konsep self-regulation.

Individu yang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi berdasarkan model di atas ditandai dengan : memiliki pandangan positif tentang tugas yang dihadapi dan kayakinan bahwa  dirinya mampu melakukan suatu tugas atau pekerjaan tertentu, memiliki memiliki dorongan yang kuat  untuk berhasil mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, dan berusaha mencari jalan yang efektif untuk berhasil menyelesaikan tugasnya.

 

Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan landasan teori selanjutnya dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1.  Ada hubungan positif metakognisi dan motivasi berprestasi dengan kreativitas.

2.  Ada hubungan positif metakognisi dengan kreativitas.

3.  Ada hubungan positif motivasi berprestasi dengan kreativitas.

 

Metode Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa semester I 2011 / 2012 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI yang terdiri dari 4 kelas, Kelas A, B, E, dan F yang berjumlah 180 orang.  Untuk mahasiswa kelas C dan D yang mahasiswa berjumlah 88 tidak dimasukkan dalam populasi penelitian karena karena dijadikan subjek untuk ujicoba instrumen penelitian. Pemilihan kelas C dan D untuk ujicoba instrumen dilakukan secara acak.

Teknik sampling dilakukan dengan menggunakan formula empiris yang dianjurkan oleh Isaac dan Michael (Sukardi, 2008),  jika jumlah populasi 180 sampel minimal 123 orang (68,33 %). Berdasarkan ketentuan tersebut sampel diambil dari setiap sub populasi sebasar 69 % secara acak dengan cara undian. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional random sampling.    

Pengukuran terhadap tiga variabel penelitian dilakukan dengan skala kreativitas, skala metakognisi, dan skala motivasi berprestasi. Pada setiap pernyataan, baik yang favourable maupun  yang unfavourable disertai dengan 4 pilihan jawaban, yaitu: sangat sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  sesuai dengan kenyataan pada diri saya,  tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya, dan sangat tidak sesuai dengan kenyataan pada diri saya dan skor 4, 3, 2, dan 1 untuk pernyataan yang favourable serta 1, 2, 3, dan 4 untuk pernyataan yang unfavourable

Sebelum dipergunakan untuk mengukur variabel, masing-masing skala diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas skala dilakukan dengan korelasi teknik corrected Item – Total Correlation (Koefisien korelasi item – total), yaitu dengan mengkorelasikan antara skor tiap item dan skor total dan melakukan koreksi terhadap koefisien korelasi yang overestimasi.  Teknik  analisis untuk uji validitas    dilakukan  dengan  program  SPSS Versi 19.   Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan item total, biasanya digunakan batasan r¡x ≥ 0,30 (Azwar, 2007). Namun untuk uji validitas skala digunakan kriteria 0,75 dengan pertimbangan agar item yang lolos jumlahnya masih mendekati jumlah keseluruhan item yang diujicobakan.  Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat Azwar apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, batas kriteria dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25 misalnya,  sehingga jumlah item yang diinginkan tercapai (Azwar, 2007).&a

Artikel Terkait

Belum Ada Komentar

Isi Komentar